Tokoh Antagonis
Jika dipandang sebagai panggung pertunjukan, The Fed (Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat) merupakan tokoh antagonis dalam rangkaian episode Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah. The Fed dan FED Rate (suku bungan acuan) selalu ditunjuk sebagai “causal” (penyebab) dengan dampak ("effect") yang memukul nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika (USD). Simak komentar dan tanggapan dari pemerintah, Bank Indonesia, pengamat, pengusaha, dan pemain serta analis valuta asing, yang ibarat memadu tanggapan tanpa berusaha melihat fakta. Ketidakpastian The Fed menaikkan suku bunga acuan, selalu mendera kurs tukar (baca : penyebab depresiasi), dan merujuk pada Bloomberg, pada 5 Juni 2015, tercatat kurs tukar 1 USD sebesar Rp. 13.291. Selain The Fed, muncul “pemain figuran” berupa penyelesaian utang di Yunani yang konon tertunda serta kondisi perekonomian di berbagai belahan dunia yang tertekan kecuali Amerika Serikat.
Dari dalam negeri, pelaku antogonis ditunjuk kepada Neraca Perdagangan yang defisit, defisit anggaran (Fiskal), fundamental ekonomi pada angka inflasi, serta tekanan (bayar) utang luar negeri.
Sesat Pikir atas Faktor Luar
Apa jadinya jika The Fed menaikkan Fed Rate dari 0.25% ? Dolar US akan “pulang kampung” karena menjanjikan kenyamanan dan imbalan yang bebas resiko. Berapakah kenaikannya ? Untuk ekonomi Amerika Serikat yang ukurannya terbesar sedunia, dan melihat catatan sebelumnya, kenaikan tidak akan langsung 100 basis poin (satu prosen) atau lebih, tetapi pada rentang 25-50 basis poin.Skenario kenaikan tersebut sudah disimulasikan semua pihak yang berkepentingan tetapi keputusan akan strategi dan tindakannya tidak selalu akan sama. Dampak kembalinya USD akan menghadirkan tekanan pada ekonomi negara yang ditinggalkan sehingga (mungkin) akan berdampak penyusutan kemampuan (atau depresiasi) dan daya beli, sehingga secara agregat membuat “demand” dunia turun. Implikasinya menyebar dan berdampak ke Amerika karena harga (produksi) ekspor Amerika naik sebaliknya harga produk impor di Amerika turun. Pada akhirnya, dampak kembalinya USD bak bumerang bagi ekonomi Amerika Serikat.
Bagaimana dengan ekonomi Eropa dengan lanjutan penanganan utang Yunani ? Secara sederhana, belajar dari masa krisis 1992 (European Regional Monetary) juga krisis 2008 yang belum sepenuhnya pulih, serta belajar dari dampak tularan krisis moneter di Asia Tenggara 1997/1998, para pemangku kepentingan di Uni Eropa pasti tidak ingin mengulangi kesalahan yang akan menambah beban kawasan regional tersebut. Sehingga, harus ada jalan keluar bagi penyelesaian utang Yunani tanpa menimbulkan dampak tularan yang ganas.
Kenapa lantas perekonomian dunia melemah ? Secara sederhana jawabannya : Siklus Ekonomi. Perekonomian suatu negara berinteraksi dengan ekonomi di luar negara (disebut sebagai sistem terbuka) sehingga terjadi perdagangan manca negara dan aliran dana. Perekonomian dunia secara agregasi merupakan sistem tertutup karena tidak terjadi interaksi atau transaksi perdagangan dengan planet lain. Dalam sistem yang tertutup, berlaku hukum keseimbangan yang berkesinambungan (General Equilibrium). Sehingga sesuatu imbalan atau pertumbuhan yang selayaknya terjadi pada masa mendatang tetapi sudah diambil pada masa kini, pada saatnya mengalami koreksi. Dengan demikian, ekonomi yang bertumbuh sangat pesat akan mengalami proses koreksi alami (natural adjustment); saat koreksi tersebut terjadi pertumbuhan turun atau terjadi kontraksi ekonomi.
Masalah Fed Rate, Utang Yunani, dan perekonomian dunia melemah bukanlah masalah yang tiba-tiba muncul bahkan sudah terlalu sering dibahas. Setiap pihak yang berkepentingan mempersiapkan skenario berdasarkan model simulasi masing-msaing. Sehingga pada saatnya, tindakan yang diambil sudah terukur. Dalam hal Fed-Rate, skenario terburuk adalah kejutan (shock) “capital flight” dana asing (dalam bentuk investasi portofolio). Tetapi implikasi lanjutannya, yaitu akibat imbalan yang tidak sesuai harapan, menyebabkan dana akan mencari tempat lain atau kembali. Ibarat mobil berjalan, resiko masuk lubang secara tiba-tiba, pasti sudah diantisipasi dengan peredam kejut (shock-absorber), yang fungsinya mereduksi dampak.
Dengan demikian, menunjuk pada Fed-Rate, Yunani, dan pelemahan ekonomi dunia sebagai alasan tidak lebih dari sesat pikir dalam mengantisipasi masalah.
Kontradiksi Faktor Dalam
Pembahasan berikut ini, menggunakan informasi indikator ekonomi Triwulan I 2015.
Defisit neraca perdagangan (ekspor - impor) dihubungkan dengan nilai ekspor yang lebih kecil dari pada nilai impor. Statistik ekspor impor pada Triwulan I 2015, secara agregat, menunjukkan nilai ekspor lebih dari impor dengan surplus sekitar USD 2,5 miliar. Tentang defisit fiskal, hal ini sudah terjadi sejak sebelumnya dan bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Juga inflasi, yang pada triwulan-I, (Januari : -0,24%, Februari 2015 : -0,36%, dan Maret 0,17%) secara agregat besarnya -0,43%. Kenyataannya, kurs tukar naik secara konsisten. Dengan demikian menunjuk pada defisit transaksi berjalan, defisit fiskal dan inflasi sebagai penyebab kenaikan kurs tukar kontradiksi dengan kenyataan.
Negative Feedback Utang
Secara rerata, pada masa 2102 – Mei 2015, kurs tukar mengalami kenaikan dari awal Januari 2012 sebesar Rp. 9.000,- hingga mencapai Rp. 13.200 atau per tahun kenaikannya sekitar 12%. Perusahaan atau korporasi yang memiliki utang dalam valuta Dolar Amerika (USD), jika pendapatannya dalam Rupiah dan tidak dilakukan lindung nilai (hedging), maka dapat dipastikan akan mengalami masalah besar pada neraca keuangan (disebut sebagai Balance Sheet Problem). Untuk mengurangi beban, perusahaan berupaya membayar pokok pinjaman dan juga memenuhi kewajiban bunga. Jika langkah membayar utang ini terjadi bersamaan pada semua perusahaan yang memiliki utang dalam USD, berarti secara akumulasi terjadi peningkatan drastis kebutuhan (demand) USD. Sementara pada sisi “supply” USD terutama dari surplus perdagangan, tercatat pada Triwulan-I 2015 hanya berjumlah USD 2.5 miliar (Tentang kondisi utang, dapat dilihat pada artikel : Solusi Krisis dan Fenomena Overdosis Utang). Akibat permintaan tinggi dan supply terbatas maka kurs tukar meningkat dan berdampak pada beban yang semakin besar yang harus ditanggung perusahaan dan hal ini terjadi berulang. Fenomena melakukan upaya unutuk untuk mengurangi beban namun pada kenyataannya semakin menambah beban dikenal sebagai Negative Feedback penyelesaian utang. Penjelasan ini lebih cocok sebagai “causal-effect” kenaikan kurs tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika.
Akhir pekan pertama awal Juni 2015 - Arnold
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H