Austerity dan Dilematika
Istilah austerity menjadi populer sejalan dengan kehebohan penyelesaian utang dan status bangkrut negara Yunani akibat tidak mampu memenuhi kewajiban utang kepada IMF pada 30 Juni 2015. Sesuai kesepakatan Mastricht 1992 yang merupakan landasan pembentukan European Central Bank (ECB) dan penggunaan mata uang tunggal Euro, ECB tidak diperkenankan menyediakan dana talangan (bail-out). Troika yang merupakan perwakilan pihak yang berkepentingan atas Yunani (debitur utang Yunani) menawarkan tambahan pinjaman untuk pemulihan perekonomian dengan persyaratan agar Yunani menjalankan langkah austerity. Yang termasuk dalam persyaratan tersebut antara lain memangkas dana pensiun pegawai pemerintah dan menaikkan pajak. Pada 5 Juli 2015 dilakukan referendum di Yunani untuk mendapatkan keinginan rakyat dan hasilnya “Tidak” atau menolak. Penolakan tersebut dapat saja berakibat Yunani dikeluarkan dari Uni Eropa dan tidak lagi menggunakan mata uang Euro. Sebaliknya, jika hasil referendum rakyat menjawab “Ya” atau menerima berarti akan mengalir pinjaman tambahan dengan konsekuensi pemerintah harus menjalankan langkah penghematan. Memang rakyat Yunani dihadapkan pada dua pilihan pelik (dilematis) dan harus menentukan sikap.
Apakah kondisi dilematika atau dalam peribahasa : Bagai makan buah simalakama, dapat terjadi di Indonesia ?
Pinjaman dan Surat Utang Pemerintah Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, maka mata uang yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah. Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan Pengeluaran, Pengedaran, dan/atau Pencabutan dan Penarikan Rupiah.
Pada sisi lain, berdasarkan Undang-Undang No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman atau menerbitkan Obligasi (surat utang) Daerah. Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan APBD dan/atau untuk menutup kekurangan kas atau untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan Daerah.
Pinjaman dapat dilakukan dari sumber dalam negeri dan tidak diperkenankan melakukan pinjaman langsung dari luar negeri. Sedangkan untuk surat utang yang diterbitkan, ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Obligasi ini tidak dijamin oleh Pemerintah Pusat sehingga segala resiko yang timbul sebagai akibat dari penerbitan Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Penerbitan surat utang ini untuk pembiayaan kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Pemerintah daerah (provinsi, kota, atau kabupaten) dalam upaya pembangunan infrastruktur dan sarana bagi publik seperti pelayanan air minum, transportasi, rumah sakit, rumah susun; pembiayaannya dapat dilakukan dengan menerbitkan surat utang (obligasi) daerah. Diharapkan, dari penerimaannya digunakan untuk pemenuhan kewajiban obligasi. Apabila kemudian terjadi penundaan atau hasil dari sarana yang dibangun tidak optimal sehingga dana untuk pemenuhan kewajiban surat utang tidak cukup, maka sesuai ketentuan akan dibebankan dalam anggaran daerah (APBD).
Terima atau Tolak
Konsekuensi dari pembebanan anggaran untuk memenuhi kewajiban, perlu dilakukan langkah penghematan atau pengetatan (austerity) berupa peningkatan pendapatan daerah (melalui pajak atau retribusi) dan pembatasan pengeluaran atau belanja untuk pelayanan masyarakat.
Pembahasan anggaran antara pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat, dapat berlangsung alot hingga kebuntuan yang artinya tidak tercapai kesepakatan dan berakibat kewajiban utang tidak dapat dipenuhi. Kegagalan atas pemenuhan kewajiban utang ini mirip kasus utang Yunani dan pemerintah daerah dinyatakan gagal bayar atau bisa disebut bangkrut.