Janggal bukan untuk Jegal
Pada suatu diskusi maya via Whatsapp Group (WAG) tentang rencana penyediaan High Speed Train (HST) Bandung – Jakarta, seorang rekan menyampaikan ekspresi kejanggalannya : Wah aku sendiri belum pernah baca apa sebenarnya "reason utama" dari kereta cepat Bandung Jakarta ?
Hingga usai (sementara) diskusi WAG, tidak ada satupun peserta diskusi yang memahami maksud (purpose) atau tujuan (objective) atau bahkan permasalahan yang dihadapi sehingga butuh solusi HST.
Kegamangan yang serupa sepertinya akan menghampiri Boston Consulting Group (BCG), sebuah firma konsultan kelas dunia papan atas (termasuk dalam Top-3), yang ditunjuk pemerintah Indonesia pada 19 Agustus 2015 (lihat : Ini Konsultan Kereta Cepat yang Ditunjuk Pemerintah), dalam hal ini Menko Perekonomian. BCG dalam waktu singkat dan sangat mendesak diminta melakukan kajian dan menyusun “advise & recommendation” atas usulan atau proposal HST ala Tiongkok yang disampaikan pemerintah Tiongkok dan proposal dari Jepang yang konon mengusung solusi Shinkazen.
Presiden Jokowi memberikan penjelasan yang terkesan sangat sederhana atas rencana HST Bandung – Jakarta ini dengan lebih melihat dari sisi beban biaya yang tidak menjadi tanggungan anggaran pemerintah alias APBN (lihat : Ini Alasan Jokowi Bangun Kereta Cepat Jakarta-Bandung).
Dengan rasa kejanggalan yang ada, tulisan ini mencoba melihat dari beberapa sudut pandang dan memberikan anti-tesis dari penyediaan HST Bandung Jakarta (selanjutnya disebut HST).
Pendekatan Initial Problem Statement ala Konsultan Kelas Dunia
Dalam menyusun rasionalitas dan justifikasi suatu “advise & recommendation”, firma konsultan BCG tentu telah memiliki rujukan “Approach & Methodology” yang merupakan "Best Practices" dalam pembahasan atas pemahaman akan Problem Statement atau tujuannya (Purpose). Dapat dipastikan BCG tidak akan menggunakan senjata andalannya yang terkenal dalam Strategic Management dan di kalangan Business & Management School yaitu BCG Matrix. HST bukan produk korporasi yang akan diperlakukan dengan strategi Stars, Cash Cosw, Dogs, atau Question Marks. Kehadiran Initial Problem Statement dalam bentuk naratif, lengkap, dan terukur merupakan prasyarat wajib (mandatory prerequisite) yang selanjutnya menjadi panduan dalam menganalisis, menimbang, merasionalitaskan, dan menyusun “advise & recommendation” secara runtut dengan memperhatikan manfaat, maslahat serta memperhatikan mudarat HST.
Seandainya BCG memanfaatkan pertimbangan presiden Jokowi dari sisi biaya penyediaan HST yang tidak menjadi beban APBN, lantas apakah yang akan menjadi pembandingnya ? Mungkin saja akan menggunakan pendekatan investasi korporasi (feasibility) dengan rasionalitas imbalan (return) dalam suatu horizon waktu yang panjang. Jika memang demikian, apakah sudah ada “demand analysis” yang berbasis suatu penelitian yang cermat dengan menimbang “future pattern of traveller” dan "buying criteria" terhadap pilihan yang ada serta perubahan perilaku atas ketersediaan layanan HST. Ada hal lain yang sering diabaikan dalam proyek stratejik khusus pada infrastruktur yaitu aspek sosial ekonomi (plausibility) dan kelanggengan (viability). Aspek lain yang juga penting menjadi pertimbangan adalah resiko terkait dengan pilihan teknologi, operasional, finansial, dan kondisi alam. Dengan waktu yang tersedia, metodologi BCG yang selalu memandang permasalahan secara jernih dan membangun solusi dari akar permasalahan, maka tanpa bermaksud “prejudice”, kualitas “advise & recommendation” yang diterbitkan BCG akan bias bahkan cenderung mencari-pembenaran akan kebutuhan dan penyediaan HST.
Asumsi Problem Statement dan Enhancement Engineering