Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Pemulihan Resesi dan Informasi

29 Juni 2015   15:11 Diperbarui: 29 Juni 2015   15:11 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


 Bias Informasi dan Ekspektasi

Semakin banyaknya penggunaan gawai (gadget) serta komputer personal dalam masyarakat yang terhubung dengan internet dan media sosial serta “digital news provider” termasuk televisi (sering disebut masyarakat digital), membuat informasi mengalir sangat cepat ibarat banjir bandang(flooding of information). Saratnya informasi yang sampai ke dalam benak seseorang dalam waktu singkat membuat penentuan sikap dilakukan secara tergesa tanpa melakukan verifikasi atau validasi. Bahkan kecenderungan sebagian masyarakat digital lebih menerima dan percaya kabar buruk atau kabar burung daripada kabar baik dan bagus (sering disebut sebagai tendensi negatif atau “negativity bias”).

Kondisi terakhir ini timbul karena turunnya kepercayaan terhadap nilai dan kesahihan informasi yang disampaikan oleh sumber yang memiliki kewenangan atau pemerintah. Sebagai dampak kondisi yang dihadapi, ekspektasi dan pengambilan keputusan sebagai makhluk ekonomi menjadi tidak rasional dan bahkan pilihan atau keputusan lebih dahulu dilakukan baru kemudian mencari alasan atau pembenaran (Post Purchase Rationalization). Tanpa disadari, masyarakat bergeser menjadi non-rasional, bias, dan terbawa arus (band-wagon effect) dalam pengambilan keputusan. Situasi ini dikenal sebagai masyarakat ekonomi berbasis perilaku (Behavioral Economics) yang tidak selalu selaras dengan ekonomi yang berlandaskan pada disiplin teori dan kajian terstruktur atas data dan informasi akurat serta ekspektasi yang rasional.

Melalui surak elektronik, media sosial dan “digital news”, banyak menyebar informasi serta kajian dan opini yang tidak didukung fakta serta analisis atau hanya berdasarkan kondisi sesaat. Sering, kesimpulan diambil dengan menggunakan rasionalisasi atau pembenaran tanpa dukungan teori atau runtut logika. Berita pemutusan hubungan kerja, proyeksi perekonomian yang hanya berdasarkan “snapshot” informasi, gosip konspirasi politik mendominasi. Komentar, kajian, konklusi sporadis dan cenderung “konyol” serta merta mendapatkan dukungan (ikon jempol dan tanda suka atau Like).

Kondisi Faktual dan Salah Tanggap

Indikator yang dianggap mewakili kondisi ekonomi adalah kurs tukar Dolar Amerika dan Indeks Harga Saham Gabungan pada Bursa Efek Indonesia, yang keduanya dapat dipantau fluktuasinya bukan hanya harian tetapi “real-time”; serta angka inflasi yang didominasi persepsi dan emosi saat transaksi.

Kondisi nilai tukan dan indeks harga saham untuk masa April hingga 26 Juni 2015 diberikan pada grafik berikut ini.

Grafik Indeks Harga Saham Gabungan dan Kurs Tukar USD

 

Sumber informasi Kurs Tukar (digunakan kurs tengah harian) adalah Bank Indonesia dan Reuters News;  Indeks Harga Saham dari Bursa Efek Indonesia.

Dengan melihat grafik di atas dan pola kecenderungan fluktuasinya (Trend Pattern), secara rasional diprakirakan terjadi penurunan pada kurs tukar USD – Rupiah (IDR) dan kenaikan indeks harga saham gabungan (dalam situasi wajar tanpa kejadian luar biasa). Jika prakiraan sesuai, dapat diharapkan tidak terjadi gejolak dan tindakan spekulasi berlebihan.

Bagaimana dengan inflasi. “Menteri Keuangan” rumah tangga alias ibu rumah tangga akan langsung berpersepsi terjadi gejolak inflasi saat membeli misalnya bawang merah yang misalnya biasa dibeli seharga Rp. 20.000,- per kilogram kemudian menjadi Rp. 25.000,-. Persepsi yang muncul adalah harga-harga kebutuhan naik hingga 25%. Tetapi pada kondisi lain, saat kemudian harga menjadi Rp. 15.000,-, hanya dianggap sebagai kondisi normal tanpa memperhatikan kondisi harga untuk suatu masa misalnya tiga bulan. Akibat kondisi sesaat kenaikan harga sesaat, muncul upaya berhemat bahkan sangat berhati-hati dalam melakukan pembelian serta segera bersiap menghadapi kondisi yang lebih buruk (apabila harga-harga semakin naik). Hal yang sama juga berlaku pada dunia usaha termasuk perusahaan; saat terjadi kenaikan harga, akan selalu direspon dengan pengurangan biaya dan belanja serta memperkuat cadangan. Pengurangan belanja atas pemenuhan kebutuhan dan berusaha mempersiapkan cadangan dengan cara menabung agar mempunyai cadangan mengantisipasi kondisi yang mungkin kian sulit; jika terjadi bersamaan dan berkelanjutan pada rumah tangga serta perusahaan, akan berdampak negatif. Penurunan kebutuhan (demand) akan menekan sektor produksi dan berimbas pada pendapatan sektor usaha yang selanjutnya mengakibatkan pengurangan tenaga kerja (PHK). Reaksi pengurangan kebutuhan dan penghematan ini merupakan kondisi parakdoksan dan disebut Kontradiksi Penghematan (Paradox of Thrift).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun