Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Orang Indonesia Belanja dan Paradigma Luarnegeri

26 September 2014   09:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:28 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14116721151283967127


Fenomena Starfruit-Watermelon dengan Jeruk Mandarin-Lengkeng Bangkok

Gelap telah menjelang, saat kaki harus melangkah ke toko serba-ada (supermarket) yang bergabung  dalam sebuah Mall favorit di Jakarta Selatan. Ada permintaan untuk beli buah segar dari “orang rumah” melalui pesan singkat pada gawai (gadget).

Tertangkap mata fenomena menarik dalam toko serba-ada, saat memandang seputar bagian yang memajang “fruit and vegetables” alias bebuahan dan sayur-mayur. Seorang pria berambut perak (biasa disebut bule) sedang antri sambil memegang “Starfruit” di belakang seorang wanita dari negeri Matahari Terbit, yang sedang menantikan sang pelayan menimbang “Watermelon.

Di salah satu sudut, terlihat 5-6 wanita muda modis sedang memilih Jeruk Mandarin sedang pada sisi yang berdekatan tampak dengan jumlah orang yang hampir sama, sambil berceloteh “mengobrak-abrik” lantas memasukkan kedalam kantong plastik buah lengkeng Bangkok.

Sambil berdiri mata menyapu deretan bebuahan, lantas terlintas dalam benak :”Inikah pola ekonomi berbasis perilaku (behavioral economic) kaum urban (baca : masyarakat kota)?

Wah, sungguh terkesan utopis, text-book, akademis, dan “sok-tahu” pertanyaannya.

Paradigma “Luar Negeri”

Sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, kota Parisj van Java alias Bandung terkenal dengan “FOS” (Baca : Factory Outlet Shop). Konon, di “FOS” banyak tersedia berbagai model baju, celana, t-shirt dengan merek dari “luar negeri” terkenal. Menurut sang empunya kisah, barang-barang tersebut batal dikirim kepada pemesan alias batal diekspor karena gagal dalam QC (Quality Control). Kebiasaan membeli barang bermerek luar negeri mungkin saja didorong kerinduan pada saudara dari Pulau Dewata yang merantau ke luar negeri (Made in Japan, Made in Italy, Made in Germany). Praduga ini sangat sulit dibuktikan secara uji statistik (bukan uji balistik). Tetapi persepsi barang luar negeri, baik bikinan atau embel-embel dari seberang, memberikan pengaruh pada perilaku banyak anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan. Embel-embel Jeruk Mandarin, Lengkeng Bangkok, Apel Australia akan jauh lebih menarik daripada Belimbing (Starfruit), atau Semangka (Watermelon), Salak Pondoh, Jeruk Bali, atau bahkan Apel Malang yang konon semakin malang nasibnya.

Pertumbuhan Ekonomi dan Tukaran “Oeang Indonesia”

Angka pertumbuhan yang konon diukur dari GDP (Gross Domestic Product) Indonesia, masa 2013 “menclok” pada 5.8%, dan dianggap “gak jelek-jelek banget” walau tidak “book” (mencapai sasaran) pada 6.4%. Tetapi dibalik angka itu, terselip ‘ranjau’ yang dapat “sewaktu-waktu meledak” jika salah asuhan. Alasannya, pertumbuhan ekonomi banyak terdorong faktor konsumsi masyarakat. Sementara, belanja pemerintah (baca : APBN) hanya sepertiga dari GDP, nilai investasi seret pertumbuhannya dan kondisi defisit pada neraca perdagangan. Sebutan defisit karena nilai aliran produk yang mengalir ke negeri seberang (baca : ekspor) lebih kecil dibandingkan nilai aliran barang yang mengalir deras (baca : impor) masuk ke Indonesia. Lha, kenapa begitu …. ?

Alkisah, dikancah manca negara, produk Indonesia kalah bersaing sehingga bukan menjadi pilihan atau kalaupun dipilih dihargai rendah. Pesaingnya, ternyata datang dari negara sekitar Indonesia (Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Sang Naga Tiongkok).

Lantas yang mengalir masuk, bukan dari barang-barang yang akan digunakan untuk proses produksi (disebut sebagai barang modal) tetapi sarat komiditi konsumsi misalnya pangan (baca : yang dimakan) dan barang penting lainnya. (baca : Bahan Bakar Minyak alias BBM)

Akibatnya, karena pembelian komiditi itu dengan pihak seberang sana, maka diperlukan banyak uang asing (valas - valuta asing) yang berakibat, kebutuhan valas meningkat. Dampaknya, dengan memperhatikan hukum supply-demand valas, ongkos menukarkan “Oeang Republik Indonesia” menjadi valas (baca : kurs nilai tukar) naik.

Gambarannya begini. Untuk mendapatkan satu lembaran hijau bertuliskan “In God We Trust” dan dibaliknya bergambar Tuan Presiden Washington (baca : lembaran 1 Dolar USA), sebelumnya cukup dengan menukarkan lembaran ungu bergambar Pahlawan Sultan Badaruddin II (Rp. 10.000,-) dan dibaca sebagai kurs tukar 1 Dolar US=Rp. 10.000,-. Namun pada waktu kemudian, harus ditambahkan lagi lembaran bergambar Pangeran Antasari (Rp. 2.000) atau 1 Dolar US = Rp. 12.000, yang dalam bahasa kerennya, nilai rupiah turun (terdepresiasi) sebesar dua ribu rupiah atau dua puluh prosen atas mata uang Paman Sam (USA).

Jika kemudian dihadapkan dengan pilihan ganda sebagai berikut. Apakah diinginkan 1 Dolar US = Rp. 12.000  dan bahkan perlu ditambahkan lagi satu lembar bergambar Pangeran Antasari sehingga 1 Dolar US = Rp. 14.000,- sebagai pilihan pertama ? Atau sebaliknya, ingin agar saat menukarkan satu lembaran bergambar Pahlawan Sultan Badaruddin II akan mendapatkan satu lembaran satu dollar Paman Sam dengan satu lembaran bergambar Pangeran Antasari yang artinya 1 Dolar US = Rp. 8.000,- sebagai pilihan kedua. Supaya tidak repot cukup disediakan dua pilihan saja tetapi setiap pilihan tentunya akan ada prasyarat untuk mewujudkannya.

Believe it Or Not dan Sederhana Tapi Nyata”

Fenomena pilih dan beli buah pada bagian awal menggambarkan kondisi paradoksal. Karena yang dari seberang memilih buah lokal dan yang “kite-kite juga” memilih yang berlabel luar. Dari sisi jumlah pembeli, sebagian besar ternyata memilih dari sebagian kecil pilihan yang tersedia (Rule 80/20 – Pareto). Inilah gambaran perilaku yang maunya itu-itu saja (default), sukar diubah (cuma mau lengkeng Bangkok atawa Jeruk Mandarin), sukar diduga (unpredictable) dan ogah alias enggan melihat pilihan lain (resistant to change), tanpa peduli meski Lengkeng Bangkok atau Jeruk Mandarin harganya makin mahal.

Situasi serupa nan tidak beda, terjadi pada perilaku masyarakat dalam ber-transportasi dan melahap energi, yang utamanya BBM. Dengan alasan masih mampu dan tidak ingin kenyamanan terusik ditambah alasan tidak ada pilihan lain yang setara, kenaikan harga BBM pada masa lalu tidak berhasil alias gagal merubah perilaku kaum urban (kota) yang konon mempunya tingkat pendapatan pada kategori hampir menengah ke atas.

Believe it Or Not, jawaban dari 2(dua) pilihan di atas, pasti akan satu suara : “Pilihan DUA pastinya … !”.

Namun, mungkinkah pilihan kedua mewujudnyata kalau tidak berupaya mengubah perilaku sambil “meniru” bule yang memilih buah belimbing segar atau wanita dengan buah semangka hijau segar. Atau bahkan, secara rutin mampir berbelanja di warung buah Mas Kardi yang jualan Papaya, Salak Pondoh, Nanas Palembang, Pisang Ambon, Jeruk Medan, Lengkeng Ambarawa, Durian Petruk, Manggis, Mangga Probolinggo dan berbagai pilihan lain ...

Mau pilihan pertama dengan perilaku tetap tidak mau berubah ... ?

Suara santun, membangunkan lamunan, bertanya : “Maaf ada yang bisa dibantu ?”

“Oh terima kasih, saya cari buah “King Banana”.

“Oh kalau King Banana yang bapak cari tidak ada Pak”, jawaban lirih sang pelayan bersimpati.

Rasa kecewa muncul namun saat akan “balik kanan”, sudut mata menangkap sesuatu didekat tumpukan buah Alpukat … dan langsung sambil menunjuk lantas bertanya  :” Lha, yang itu dekat Alpukat ?”

Segera dengan lugas sang pelayan menjawab : “Oh bapak cari Pisang Raja yah … !!!”

Senyuman manis kasir mengiringi ucapan terima kasih. Sesaat kemudian langkah kaki dengan tangan membawa sesisir “King Banana” menerobos keramaian mall.

Lantas teringat dendang “Chacha” … Papaya mangga pisang jambu dibawa dari Pasar Minggu …!

Jelang fajar 26 September 2014

S. Arnold Mamesah - Laskar Initiative

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun