Pembangunan infrastruktur dengan pelonggaran (stimulus) anggaran dan peningkatan belanja sudah dipilih menjadi tema demi meningkatkan kegiatan perekonomian. Dampaknya sudah jelas bahwa anggaran akan mengalami defisit sehingga perlu ditutup dengan tambahan utang. Pada sisi lain, penerimaan pajak akan tidak memenuhi target. Opsi lain adalah pengetatan anggaran (austerity) yang dilaksanakan melalui pengurangan belanja yang akan berdampak pada penurunan kegiatan perekonomian.
Opsi dan implikasi Stimulus serta Austerity dapat dilihat pada Peraga-1.
Contoh yang dapat dipilih antara lain seperti USA saat Great Depression (1929 - 1939), Jerman sebelum dan usai Perang Dunia-II (PD-II), Eropa usai PD-II dengan skema bantuan Amerika melalui Marshall Plan, Jepang usai PD-II, dan Korea Selatan usai Perang Semenanjung Korea. Indonesia juga pada tahapan awal Order Baru menggunakan strategi pembangunan infrastruktur, demi mendukung pengembangan sektor pertanian dan mengawali tahapan pengembangan sektor industri, dengan bantuan melalui skema IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia).
Sesuai dengan batasan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pada penjelasan pasal 12 ayat 3 diatur bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari PDB (Produk Domestik Bruto) dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB. Dalam dialog langsung bersama dengan Bapak Boediono, mantan Wapres RI yang pada saat penyusunan UU No. 17/2003 menjabat sebagai Menteri Keuangan, memberikan penjelasan bahwa pembatasan tersebut dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara dan demi mencegah krisis keuangan seperti saat Krismon 1998.
Dengan keterbatasan yang dihadapi pemerintah dalam besaran defisit anggaran maka sangat diharapkan partisipasi dan keterlibatan dari non pemerintah baik domestik maupun asing (PMA : Penanaman Modal Asing atau FDI : Foreign Direct Investment) dalam investasi khususnya pada sektor infrastruktur yang berwawasan jangka panjang.
Tren Global
Dalam situasi pertumbuhan ekonomi global rendah yang dialami negara maju dan negara yang mengandalkan penerimaan dari komoditas, pertumbuhan perdagangan global juga mengalami tekanan. Gambarannya diberikan pada Peraga-2.
Dengan tren turun pada perdagangan global pada 2015 dan 2016, perdagangan Indonesia mengalami kondisi sebaliknya dan mengalami surplus dengan surplus 2016 (USD 8.78 Miliar) yang lebih besar daripada surplus 2015 (USD 7.52 Miliar). Peningkatan surplus tersebut terjadi pada saat komoditas termasuk migas mengalami deflasi (penurunan harga dalam waktu lama).Â