Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mencermati Subsitusi BBM yang (Ternyata) Tanpa Subsidi

24 Desember 2014   02:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:36 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Krisis Pasca Kenaikan BBM dan Harga Minyak Dunia

Hampir 6 (enam) minggu berlalu sejak kenaikan harga BBM diumumkan pada 17 November 2014 yang menimbulkan gejolak dan mengarah pada krisis. Tim Anti Mafia Migas yang dipimpin Faisal Basri merekomendasikan agar impor bensin premium dihentikan dan selanjutnya digantikan (substitusi) bensin berangka-oktan (RON) 92. Konon pengadaan bensin premium (dengan angka Oktan 88) prosesnya rumit dan beraroma “Mafia” melibatkan para “pemburu rente” sehingga menimbulkan kerugian bagi negara yang memberikan subsidi. Rekomendasi substitusi ini disambut pro-kontra dari berbagai kalangan termasuk jajaran kementerian bidang ekonomi (Menko, Menkeu, ESDM), Pertamina sebagai pihak yang ditugaskan pemerintah dalam penyediaan BBM subsidi, pengamat, dan para pihak yang merasa berkepentingan terhadap BBM.

Ditengah situasi pro-kontra tersebut, dalam pembahasan APBN perubahan, rubrik subsidi BBM diarahkan menjadi subsidi tetap yang besarannya masih dalam perhitungan.

Pada sisi lain, tren harga minyak dunia masih menurun akibat prakiraan ekonomi dunia, kecuali negeri Paman Sam USA, masih melemah. Tekanan harga minyak dunia juga dipengaruhi kebijakan negara penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC yang tetap enggan menurunkan jumlah produksi, pertumbuhan shale-oil USA serta “konspirasi” menekan Rusia akibat aksinya di Ukraina.

Secara umum, diproyeksikan bahwa harga minyak mentah dunia setidaknya dalam 2 (dua) tahun mendatang tidak akan mengalami gejolak kenaikan yang drastis.

Kondisi Hulu, Tengah, dan Distribusi Pemasaran Minyak Indonesia

Dalam situasi harga minyak dunia turun, kondisi hulu (upstream) minyak Indonesia memberikan kinerja yang tidak memuaskan. Rerata produksi minyak Indonesia hanya mencapai sekitar 780 ribu barel dari target sekitar 818 ribu barel (95%), sementara keberhasilan kegiatan eksplorasi hanya sekitar 30% (Tiga Puluh Prosen). Kondisi lain yang cukup mencemaskan adalah turunnya minat dari “oil company” berinvestasi dalam melakukan eksplorasi menemukan cadangan minyak baru baik on-shore ataupun off-shore yang berisiko tinggi dan mahal biayanya.

Dengan demikian, dalam 5 – 10 tahun mendatang tidak dapat diharapkan terjadi peningkatan produksi untuk mengkompensasi penurunan (depletion) minyak yang rata-rata per tahun sebesar 15% dan Indonesia tetap perlu mengimpor minyak dalam bentuk mentah (crude oil) dan BBM.

Kondisi pengolahan minyak (mid-stream), dengan 6(enam) kilang milik Pertamina (Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Kasim – Papua, Balongan), kapasitas yang terpasang konon mampu melakukan proses pengilangan hingga sekitar satu juta barel minyak mentah. Namun, hanya kilang Balongan (Jawa Barat) yang dapat menghasilkan BBM dengan Oktan-92 dan kemampuan produksinya terbatas. Kilang lainnya, hanya mampu memproduksi BBM dengan oktan rendah sehingga perlu dilakukan proses “blending” agar mampu menghasilkan BBM berangka oktan-88.

Langkah yang akan dilakukan Pertamina adalah melakukan upgrade kilang dan mengambil-alih kilang TPPI di Tuban untuk dapat menghasilkan BBM dengan RON-92 dan waktu yang dibutuhkan sekitar 2(dua) tahun atau bahkan lebih.

Untuk distribusi dan penjualan (down-stream) BBM, khususnya yang bersubsidi, Pemerintah memberi tugas kepada Pertamina untuk melakukannya ke seluruh pelosok Nusatara. Sedangkan BBM Non Subsidi sekelas dengan angka Oktan-92 atau lebih, selain Pertamina (dengan brand Pertamax) ada pemain lain seperti Shell (Super), Total (Performance) yang penyediaanya baru ada di Pulau Jawa belum merata dan menjangkau daerah lainnya.

Substitusi BBM Berangka Oktan (RON)-92

Agar dapat melihat secara sederhana, diberikan perhitungan sebagai berikut.

Perhitungan Harga BBM Berangka Oktan-92

1419338235144129042
1419338235144129042


Dalam perhitungan di atas, digunakan asumsi :

1. Harga minyak mentah per barel USD 65

2. Kurs Tukar 1 Dolar Amerika ke Rupiah = Rp. 12.000,-

3. Hasil BBM (output) dari pengolahan 75% (119 liter) dari minyak mentah 1 Barel (159 liter)

4. Perhitungan di atas diasumsikan kilang pengolahan Balongan dan sumber dari sumur di Riau.

Mencermati perhitungan di atas, harga BBM Oktan-92 lebih rendah daripada harga BBM Subsidi dengan angka Oktan-88 (Bensin Premium) sebesar Rp. 8.500,00 per liter.

Perhitungan yang mirip akan juga dipakai perusahaan pengilangan di luar negeri. Sehingga jika Pertamina melakukan impor, misalnya dari Singapura, seharusnya harganya tidak berselisih banyak.

Pemain BBM Non Subsidi seperti Shell dan Total tentu segera merespon dalam situasi persaingan pasar terbuka dan menyediakan BBM berangka oktan-92 dengan harga yang tidak jauh berbeda dengan harga Pertamax-92.

Dengan tersedianya BBM sejenis Pertamax (BBM Substitusi) berharga sama dengan BBM beroktan 88, tentu yang sejenis Pertamax menjadi pilihan. Apalagi BBM kelas Pertamax menjanjikan efisiensi dalam penggunaan (konon hingga 12%) dan ramah lingkungan (mendukung pengurangan emisi karbon).

Dalam rekomendasi, Tim Faisal Basri memberikan waktu 5(lima) bulan bagi Pertamina untuk melakukan persiapan dan transisi. Pada saat yang bersamaan, dapat dipastikan bahwa Shell dan Total akan segera melakukan ekspansi untuk dapat mengambil peran dan pangsa dalam persaingan pasar BBM Non Subsidi (Substitusi). Bahkan, dengan efisiensi kilang yang lebih baik, bisa terjadi harga yang disediakan Shell dan Total lebih murah dari Pertamax.

Transformasi Perminyakan Indonesia

Kondisi perminyakan Indonesia tidaklah sekedar masalah subsidi BBM dan Mafia (ibarat suatu organisasi tanpa bentuk) yang bermain dalamnya. Namun usul tim Faisal Basri setidaknya merupakan awal transformasi dan layak diharapkan ada terobosan lain yang disampaikan.

Dengan prakiraan tidak ada gejolak harga minyak untuk masa dua tahun mendatang, maka subsidi BBM bukan suatu hal yang menggelisahkan sehingga terminologi “pengalihan subsidi” menjadi sangat kunci khususnya dalam upaya membangun infrastruktur.

Transformasi perminyakan perlu dilihat secara utuh dan menyeluruh karena minyak merupakan salah satu sumber energi yang bersumber dari fosil dan tidak terbarukan. Dengan memperhatikan kondisi hulu, tengah, dan hilir perminyakan, dan pola konsumsi yang senantiasa meningkat setiap tahun akibat pertambahan populasi, peningkatan kemakmuran masyarakat dan peningkatan kegiatan investasi serta industri, maka perlu dilakukan kajian yang berselaras dengan upaya peningkatan pertubuhan ekonomi.

Pada kesempatan lain, akan diberikan telaahnya.

Jelang akhir Desember 2014

S. Arnold Mamesah – Laskar Initiative

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun