[caption caption="Sumber: steelgohst.deviantart.com"][/caption]Kotak Pandora dan Economic Bubble
Upaya dan tindakan KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) dalam menelisik dan menyelidiki kasus hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT), melibatkan pelaku anggota DPRD DKI Jakarta dan direktur utama salah satu pengembang properti terkenal, berkaitan dengan proyek reklamasi pantai di sisi Utara Jakarta, ibarat membuka Kotak Pandora.Â
Mungkin saja tindakan yang dilakukan hanya sebatas menggeledah, mencekal, atau memeriksa pelaku yang tertangkap. Tetapi kemudian dari hasil penelisikan muncul implikasi, konsekuensi, dan rentetan panjang permasalahan yang selama ini tertutup rapi berkaitan dengan 'ethical conduct', yang melibatkan pelaku dunia usaha (properti), birokrat dan legislatif, dan bahkan para pelaku sektor keuangan.
Masih segar dalam ingatan akan biang Krismon 1998 yang sarat dengan praktek KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Juga Krisis Keuangan US 2008 yang erat dengan 'business ethic conduct' para pelaku baik dari sisi investor, financial institution, sales agent (yang dicoba digambarkan melalui film The Big Short dan komentar ekonomis Paul Krugman). Sementara, di tengah gairah besar pemerintah China mengembalikan kepercayaan penanam modal, upaya pembasmian praktek korupsi, khususnya sektor 'housing & property' berpotensi menimbulkan gejolak dan krisis (baca artikel: So Much For Your China Housing Bubble). Intinya, penyebab krisis terletak pada 'business etchical conduct' dengan praktek KKN serta unsur spekulasi dan pola Economic Bubble.
Proyek Reklamasi dan National Capital Integrated Coastal Development
Berkaitan dengan proyek reklamasi, yang menjadi sorotan utama adalah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Tata Ruang kawasan Pantai Utara Jakarta. Dalam rancangan pengembangannya, proyek ini melibatkan 11 (sebelas) perusahaan. (Lihat artikel : Raperda Reklamasi Dilanjutkan, Ini Daftar Perusahaan yang Terlibat).
Proyek reklamasi sendiri tidak bisa terlepas dari salah satu dari 30 Proyek Prioritas pemerintah 2016-2019, yaitu NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), yang untuk Fase-A membutuhkan anggaran sebesar 26 triliun rupiah. (Lihat Infografis 30 Proyek Infastruktur Prioritas). Dengan keterbatasan anggaran, pemerintah menggunakan pendekatan KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha atau Public Private Partnership), dan pengaturannya sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.Â
Dalam hal NCICD, pemerintah pusat dan pemerintah DKI Jakarta akan bekerjasama dengan pihak swasta demi pembangunan yang bertujuan mengendalikan banjir yang selalu melanda ibu kota. Tidak ada yang salah dalam niatan penanggulangan banjir walaupun selalu muncul pertanyaan: apa faktor utama banjir Jakarta? Kota yang dialiri 13 sungai ini pada sisi hulu, dengan berkurangnya daerah resapan dan dampak sampah atau pada sisi hilir khususnya 'tidal effect' atau efek pasang surut laut Jawa.
Bukan untuk mengangkat pendekatan dan penyelesaian masalah banjir; tetapi pada praktek bisnis khususnya pemanfaatan area hasil reklamasi dan 'financial engineering' (rekayasa keuangan) demi pendanaan yang terkait dalamnya. Demi 'menutup dan mendapatkan keuntungan atas investasi', godaan praktek 'bubbling' muncul. Dalam situasi ini, fenomena 'kepastian kenaikan harga' yang merupakan anomali tetapi 'diupayakan harus naik', yang kemudian menjadi ajang spekulasi dan upaya 'big gain in very short term'.
[caption caption="Sumber gambar: pinterest.com/onedgeartworks/pandoras-box/"]
Mungkin skenario 'stagnasi' yang akan digambarkan ini terlalu berlebihan tetapi perlu untuk antisipasi. Dugaan keterlibatan para pimpinan dan direksi pemain besar sektor properti menyebabkan operasional perusahaan terganggu terutama kegiatan pembangunan. Demikian juga 'cash flow' keuangan perusahaan yang dipengaruhi kondisi perekonomian secara makro.Â
Terbukanya tingkap tabir korporasi yang sarat praktek 'non-ethical conduct' serta KKN, menurunkan kepercayaan masyarakat termasuk investor pasar saham dan pasar modal. Akibatnya, sektor properti mengalami stagnasi, kegiatan usaha tertekan dan menular ke sektor perekonomian makro. Yang pasti akan mengalami dampak langsung adalah pekerja dan pendapatannya. Potensi tekanan juga akan dialami perbankan yang menyediakan kredit investasi dan juga pada kredit konsumen khususnya kepemilikan perumahan.
Menilik pada pengalaman masa lalu, apabila kondisi stagnasi ini berkepanjangan akan meruntuhkan kepercayaan pada pasar modal dan pasar saham yang selanjutnya menimbulkan 'capital outflow' dan menekan nilai tukar atau depresiasi. Tularan akan terus berlanjut pada sektor perbankan dan krisis ekonomi secara keseluruhan. Semoga skenario ini tidak terjadi!
Pembangunan infrastruktur diyakini sebagai strategi untuk peningkatan pertumbuhan perekonomian khususnya dalam menghadapi kondisi pertumbuhan global yang tertekan. Dalam menentukan proyek infrastruktur prioritas dalam keterbatasan dukungan dana serta pola KPBU, sudah selayaknya pemerintah mengutamakan infrastruktur yang memberikan dampak ekonomi optimum.Â