Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jokowi dan Impian Tujuh Harapan Kemegahan Indonesia

24 September 2014   13:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:43 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1411513232375903785

Ikhtiar Sang Putera Fajar

Detak waktu berjalan pasti , pengharapan seakan tiada henti diarahkan kepada Joko Widodo yang segera akan menjalankan amanat sebagai Presiden NKRI ke-7 bersama pasangan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Berbagai langkah dilakukan dalam Rumah Transisi, untuk mempersiapkan dan mengupayakan agar pemerintahan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (JKW-JK) dapat dengan mulus menerima dan melanjutkan estafet pemerintahan dari Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono.

Konon, Rumah Transisi selain melakukan “talent-scouting” untuk pembantu JKW-JK (baca : anggota kabinet), juga mengidentifikasi permasalahan dari pemerintahan SBY-Boediono beserta “PR’ yang belum selesai, serta mempersiapkan “immediate-action”

Sri Mulyani Indrawati, Srikandi Ekonomi Indonesia yang pernah mengemban jabatan sebagai menteri keuangan dan saat ini berkiprah sebagai Managing Director di World Bank, dalam suatu forum di Singapore pekan lalu, membisikkan pesan perlunya pertumbuhan ekonomi Indonesia per tahun minimum 7% dengan bumbu pada keberanian mengambil kebijakan yang tidak popular yaitu mengurangi beban subsidi pada anggaran vis a vis kenaikan harga BBM.

Pemerintahan JKW-JK selayaknya tidak hanya terpatri pada pertumbuhan ekonomi semata. Perlu mencermati masalah ketahanan nasional yang mencakup aspek alam (geografis, sumber daya alam sumber daya insani), 7-dimensi dalam aspek kehidupan masyarakat (IPOLEKSOSBUDHANKAM : ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan) dan aspek dimensi waktu rentang 2014-2019 dan kelanjutannya.

Presiden ke-7 dan Keteladanan

Tanpa bermaksud mencari afinitas atau menganalogikan penyebutan Presiden ke-7 dengan persepsi yang mungkin ada dalam benak masyarakat misalnya Pendekar Sumur-7 nan sakti, atau 7 warna pelangi nan indah, atau Puyer Bintang Toedjoe nan mujarab.

Namun, sangat bijak bagi Presiden ke-7 Jokowi untuk belajar dan mengambil teladan dari 6 (enam) presiden RI yang lalu; sejak Bung Karno hingga Pak SBY. Tidak ada salahnya untuk mengingat ungkapan Pak Harto yang juga akrab dalam budaya Jawa yaitu “mikul dhuwur mendhem jero”(Secara sederhana bermakna mengambil teladan yang baik dan bermanfaat, mengabaikan yang hal tidak memberikan manfaat).

Mengutip kata-kata Nabi Sulaiman yang bijaksana : "Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi".

Meneladani para pendahulunya, Jokowi dapat berbuat lagi apa yang menghasilkan yang baik. Namun dengan bakat dan kemampuan yang ada pada diri Jokowi, bersinergi dengan Jusuf Kalla serta memberdayakan para menteri, secara kolektif dalam tatanan sistem presidensial, akan mampu menjalankan amanat rakyat dalam menghadapi tantangan serta memanfaatkan peluang.

Tingkat Pertumbuhan Ekonomi minimum 7%

Bisikan Sri Mulyani Indrawati (SMI) tentang angka pertumbuhan 7% tentunya bukan sekedar angka yang turun dari langit tingkat ketujuh. SMI sungguh paham akan kemampuan bangsanya. Ancaman kemiskinan dan kemelaratan akan menjadi kenyataan jika tidak mampu mengembangkan kemampuan dan kapasitas dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dianugerahkan Sang Pencipta kepada bangsa Indonesia.

Fakta yang ada , pertumbuhan ekonomi 5.8% (2013) ternyata banyak didorong sektor konsumsi masyarakat. Anggaran pemerintah, yang merupakan sepertiga dari GDP, besaran belanjanya sarat tersedot untuk biaya rutin, subsidi, serta pemenuhan kewajiban utang. Dampaknya, anggaran pembangunan minim dan tidak dapat menjadi stimulus atau penggerak roda perekonomian.

Dari aspek perdagangan (Ekspor - Impor), kondisi defisit disebabkan turunnya penerimaan ekspor akibat kurangnya daya saing produk Indonesia di mancanegara dan penurunan ekspor minyak. Tingginya konsumsi masyarakat, ternyata meningkatkan impor barang konsumsi dan impor BBM. Dalam situasi ini, layak untuk mengingatkan dan mengkampanyekan tema substitusi barang impor dengan produk lokal yang berimplikasi pada berkembangnya industri domestik termasuk hasil pertanian, perikanan, kelautan; serta substitusi BBM dengan misalnya gas selain juga merubah pola konsumsi BBM tentunya.

Pada sisi ekspor, perlu dipetakan dan diidentifikan komiditi ekspor dengan menggunakan pareto 80/20 (80% nilai ekspor dari 20% produk unggul) serta dikembangkan dengan penggunaan teknologi proses yang sesuai sehingga dapat memberikan nilai tambah yang signifikan.

Tantangan besar untuk pertumbuhan selayaknya diharapkan pada lingkup investasi. Namun, isu High Cost Economy (Ekonomi Biaya Tinggi) sarat melekat pada masalah investasi.Hambatan birokrasi, konsistensi kebijakan dan peraturan, ketidakpastian proses adminstrasi dan perijinan, praktek broker atau mafia adalah kendala yang memberatkan langkah dan menurunkan minat kehadiran “Foreign Direct Invetment”. Dalam hal Investasi Domestik, masih ditambahkan faktor “cost of fund” yang tinggi.

Pada tahapan kini, investasi selayaknya ditujukan untuk pengembangan infrastruktur yang mendukung kegiatan dunia usaha dan pengembangan industri yang memanfaatkan Sumber Daya Alam (termasuk pertanian, perikanan, dan kelautan) dan memberikan nilai tambah.

Khusus untuk percepatan pengembangan infrastruktur, perlu terobosan dalam penyediaan dana pembangunannya yaitu dengan mekanisme pemanfaatan SWF (Sovereign Wealth Fund atau Harta Kekayaan Negara). SWF merupakan kekayaan negara yang didapatkan dari hasil eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), yang dalam APBN dikategorikan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan SWF digunakan sebagai sumber pembiayaan infrastruktur, maka PNBP dari SDA harus dikeluarkan dari pos penerimaan APBN dan dikelola terpisah. Sehingga akan terakumulasi sumber dana bergulir yang secara berkelanjutan dapat dikembangkan untuk berbagai bentuk investasi. Scenario ini akan mengurangi tekanan pada pemerintah untuk berhutang demi pembangunan infrastruktur.

Sebagai implikasi, untuk menutupi kekurangan dana akibat tiadanya PNBP dalam APBN, dapat dilakukan dengan peningkatan tax ratio (yang saat ini pada kisaran 12%) hingga mencapai kisaran 18% (threshold emerging markets). Sehingga dapat diharapkan terjadi tambahan penerimaan pajak dalam kisaran 500-600 Trilyun Rupiah (berdasarkan angka penerimaan pajak 2013).

Sebagai gambaran dengan menggunakan angka PNBP 2013 sebesar 350 Trilyun, andaikan jumlah sejumlah 250 Trilyun merupakan SWF untuk pengembangan infrastruktur yang padat karya dan sejumlah 40% (100 Trilyun) diserap untuk upah tenaga kerja. Pada tingkat upah Rp. 150.000,- per hari dan 250 hari kerja per tahun yang berarti upah tahunan sebesar Rp. 37.500.000,-, akan dapat diserap sekitar 2.67 juta tenaga kerja per tahun.

Pengembangan infrastruktur akan mendorong proses peningkatan industri yang kemudian akan menyerap tenaga kerja dengan besarannya bergantung dengan sektor industri (padat modal atau padat karya). Dengan demikian, keberadaan SWF untuk mendukung pendanaan pengembangan infrastruktur akan memberikan dampak positif pada penyerapan tenaga kerja, perluasan industri, dan memberikan trickle down effect yang luar biasa. Sangat layak dipertimbangkan dengan seksama dan tentunya diambil keputusan.

Aspek Ketahanan Nasional dan 7 dimensi kemasyarakatan

Sebagai Negara berdaulat, Presiden ke-7 perlu memperhatikan masalah Ketahanan Nasional Indonesia dalam menjalani perjalanan 5 tahun pemerintahan (2014-2019).

Kondisi geografis kepulauan yang terbagi dalam 34 provinsi dan hampir 400 daerah tingkat II (kota dan kabupaten), dalamnya mengandung kekayaan alam yang konon berlimpah, serta hampir 250 juta penduduk yang mendambakan kehidupan berkualitas dengan kesejahteraan serta kemakmuran yang langgeng.

Aspek 7-dimensi kemasyarakatan yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan perlu selalu menjadi perhatian secara integratif dan komprehensif karena keterkaitannya. Jangan dibiarkan masalah-masalah yang mengusik terus berlangsung dan menggerogoti kehidupan masyarakat. Tidak ada salahnya untuk membuka catatan beserta pemikiran dan pemahaman yang telah ada untuk menjadi landasan dalam pengembangan dan peningkatan Ketahanan Nasional

Jokowi sebagai Presiden ke-7 mengangkat jargon "Revolusi Mental" sejalan dengan upaya melakukan transisi serta perubahan. Dalam relasi kehidupan masyarakat dalam tatanan Ketahanan Nasional NKRI yang berdasarkan Pancasila, layak dibuka kembali catatan tentang Eka Prasetya Pancakarsa ... tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun