Fenomena kartu kuning dalam sepak bola
Gambar di atas pemain sepak bola klub Barcelona Lionel Messi yang mendapatkan kartu kuning dari wasit setelah mencetak gol ke-500 bagi Barcelona dalam pertarungan klasik (El Clasico) Liga Sepak Bola (La Liga) Spanyol (tulisan lengkap di sini).
Kartu kuning dalam permainan sepakbola diacungkan wasit apabila sang pemain melakukan pelanggaran terhadap lawan baik secara sengaja atau tidak sengaja; atau menunjukkan sikap yang tidak layak terhadap wasit termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan.
Pemain sepak bola dapat juga "berupaya" mendapatkan kartu kuning agar terjadi akumulasi (dua kali kartu kuning) sehingga disuspensi untuk pertandingan berikutnya. Dalam hal Messi, kartu kuning diberikan wasit atas tindakan selebrasi usai mencetak gol ke gawang "lawan abadi" Barcelona, yaitu klub Real Madrid. Walaupun diacungi kartu kuning oleh wasit, Messi mendapatkan "applause"Â alias tepukan tangan meriah dari penonton yang hadir di stadion.
Pada Jumat, 2 Februari 2018 dalam perayaan Dies Natalis UI ke-68, muncul kejadian serupa saat Presiden Jokowi yang hadir dalam acara tersebut mendapat acungan "kartu kuning". Tulisan ini bukan bertujuan menggali latar belakang atau tujuan pengacungan kartu kuning kepada Presiden Jokowi, atau membandingkan kemampuan "dribbling and shooting" Messi dengan Jokowi. Tetapi makna warna "kuning" bagi Jokowi dari pandangan perekonomian. Secara umum warna kuning ibarat bunga matahari yang memberikan makna dan nuansa sinar matahari, harapan, dan keceriaan (sunshine, hope, and happiness - lihat di sini)
Perekonomian global dan pilihan infrastruktur
Dalam derap "Orkestra Infrastruktur Indonesia" yang dimaknai sebagai pembangunan infrastruktur demi mendorong pertumbuhan ekonomi; berbagai tulisan dan pandangan pro dan kontra muncul baik dari domestik atau dari seberang lautan. Artikel yang bernada kontra misalnya pada opini Jake Van Der Kamp dalam South China Morning Post (SCMP): "Sorry President Widodo, GDP rankings are economists’ equivalent of fake news"; artikel AsiaTimes dengan judul "Widodo’s smoke and mirrors hide hard truths" yang ditulis John Mc Beth; serta ungkapan Profesor Richard Robinson yang dikutip Kompas di bawah judul "Profesor Australia: Indonesia Tak Punya Kapasitas untuk Jadi Kekuatan Baru di Dunia".
Artikel dalam SCMP menunjukkan miskinnya wawasan sang penulis tentang posisi Indonesia. Perlu diingat dan dipahami bahwa perekonomian Indonesia sudah berada dalam "Liga Primer" dunia atau akrab dengan sebutan Group of Twenty (G20) yang mencakup 20 (dua) puluh negara dan regional (Uni Eropa), serta total PDB (Produk Domestik Bruto) dua puluh negara tersebut sekitar 80% dari PDB global.
Metafora "asap dan cermin" yang digunakan John McBeth tidak lebih dari upaya "clickbait" atau umpan untuk menarik perhatian, sementara isinya hanyalah sekedar kumpulan "prosa bebas" yang tersebar dalam media sosial ataupun obrolan warung kopi tanpa dukungan data, pemahaman, teori, atau prinsip umum dalam perekonomian (Generally Accepted Economic Principle). Sedangkan Profesor Richard Robinson masih terlena dengan nostalgia "The Rise of Capital" yang menguak ekonomi Banteng dan era Orde Lama (Orla) serta menguliti ekonomi Orde Baru. Dengan perkataan lain sarat dengan "Old Paradigm".
Perlu dipahami bahwa Asia merupakan Central of Gravity perekonomian global dengan populasi hampir 60% global, dalamnya ada 3 (tiga) gugusan (cluster) utama yaitu East Asia dengan pemain utama China, Japan, Korea Selatan; South Asia dengan India, Pakistan, Bangladesh dalamnya; serta South East Asia yang utamanya pada negara-negara Asean. Pada gugus South East Asia, Indonesia merupakan negara terbesar, menjadi "Core" dan menggerakkan serta meningkatkan perekonomian gugusan South Ease Asia.
Pasca Krisis Finansial 2008, perekonomian global sarat dengan kondisi VUCA (Volatilities, Uncertainties, Complexities, Ambiguities) alias Gejolak, Ketidapastian, Kompleksitas permasalahan, dan Ambiguitas (lihat: "Kinerja Perekonomian Indonesia Bukan Anomali"), muncul fenomena norma baru atau "New Normal" seperti pertumbuhan ekonomi rendah dan trennya turun, spiral penurunan harga (Deflationary Spiral) Komoditas, suku bunga patokan bank sentral sangat rendah bahkan mengarah ke negatif, peningkatan defisit anggaran yang berdampak peningkatan utang negara, serta peningkatan ketidaksetaraan atau inequality.Â