Pembangunan Infrastruktur dan Pinjaman
Sudah lama laba-laba memperhatikan ulat kaki seribu dan berusaha memahami cara sang ulat mengatur langkahnya. Saat bertemu ulat kaki seribu berjalan, laba-laba menghampiri dan terjadilah dialog seperti ini.
Laba-laba : Wahai ulat kaki seribu, bagaimana engkat dapat bergerak demikian cepat menggunakan seribu kakimu ?
Ulat kaki seribu : Sobatku laba-laba, aku tidak perlu memikirkan dan merenungkan semua kakiku. Saat aku berpikir dan berkonsentrasi tentang hal tersebut maka yang terjadi kaki-kakiku akan saling menjerat dan langkahku terhenti.
Mendengar jawaban ulat kaki seribu sang laba-laba langsung "speechless". Selama ini laba-laba selalu bangga bahwa model sarangnya digunakan dalam menghubungkan miliaran manusia di dunia melalui internet (world wide web).
Pola pemikiran ala ulat kaki seribu mungkin mirip dengan apa yang ada pada benak Presiden Jokowi dalam membangunan infrastruktur. Tidak jauh berbeda dengan masa awal Orba saat almarhum Presiden Soeharto bersama Tim Ekonomi yang kemudian disebut "Mafia Berkeley" menyusun rencana dan implementasi pembangunan infrastruktur; khususnya yang mendukung upaya penguatan sektor pangan dan mempersiapkan sektor industri. Berbagai bendungan di Jawa dan Sumatera, pabrik aluminium Inalum, Satelit Palapa (telah berganti 4 generasi) yang mewujudkan Sistem Komunikasi Jarak Jauh dan interkoneksitas komunikasi seluruh provinsi di Indonesia, atau juga Taman Mini Indonesia Indah yang merupakan representasi "mini" Nusantara; merupakan beberapa contoh dari hasil pembangungan infrastruktur yang masih dapat terus dirasakan manfaatnya hingga kini. Dengan kondisi "kas negara" saat itu yang terbatas bahkan defisit, tidak akan mungkin melakukan pembangunan infrastruktur dan meningkatkan perekonomian. Skema pinjaman digunakan melalui IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) sebagai gerbang dari berbagai sumber yang bersifat multilateral (World Bank atau Asian Development Bank) atau bilateral (antar pemerintah). Resep pinjaman yang serupa menjadi pilihan USA di bawah Presiden Roosevelt pasca Great Depression 1929 serta Reaganomics saat Presiden Amerika Ronald Reagan (1980-1988); juga Jerman pre & pasca Perang Dunia II, Jepang pasca Perang Dunia II, atau Korea Selatan pasca Perang Korea. Ketersediaan infrastruktur yang andal menjadi modal utama dalam pembangunan industri dan pengembangan selanjutnya; faktanya negara-negara yang disebut saat ini masuk dalam kategori "Advanced Economy".
Sesat Paham dan Pemikiran Keliru
Sering sekali terjadi sesat paham dan keliru pemikiran saat menghadapi tekanan perekonomian negara; hal ini akibat tercampur dengan cara kelola korporasi. Pengelolaan negara tidak dapat meniru cara bisnis korporasi. Dalam menghadapi tekanan atau kemerosotan kinerja, korporasi akan melakukan pengetatan hingga pemotongan anggaran belanja; hal demikian merupakan pilihan rasional. Diharapkan dengan pengetatan biaya, korporasi akan dapat mempertahankan kegiatan usaha; tetapi pada sisi lain berimplikasi pada tekanan pertumbuhan. Menghadapi situasi perekonomian negara yang terimbas gejolak perekonomian global seperti spiral deflasi komoditas, pengetatan anggaran negara akan berdampak negatif. Korporasi yang melakukan pengetatan akan menurunkan minat berinvestasi dan bahkan mengurangi tenaga kerja yang lantas berdampak tekanan pada pendapatan. Bagi pemerintah pilihannya adalah menggiatkan dan meningkatkan belanja demi menggairahkan perekonomian; kebijakan demikian dikenal sebagai stimulus. Pelaksanaannya melalui investasi pada berbagai proyek pembangunan terutama infrastruktur dan bantuan pemberdayaan masyarakat yang paling terdampak tekanan perekonomian. Kegiatan pembangunan akan membuka lapangan kerja dan mendistribusikan pendapatan; implikasinya meningkatkan permintaan (demand) yang lantas menggairahkan dunia usaha.
Investasi Infrastruktur
Membangun infrastruktur Indonesia merupakan pilihan dengan wawasan masa depan. Kondisi infrastruktur yang ada dalam G20 (Group of Twenty) diberikan pada peraga berikut ini.