Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global yang terus berada dalamtekanan, tuntutan ketidakadilan dalam kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatmenjadi persoalan yang menggelinding dan selalu mengemuka baik pada ranahsosial, politik, dan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang selayaknyadirasakan secara merata ternyata menimbulkan "gap" atau jurang yanglebar dalam hal kemakmuran yang dikaitkan dengan kepemilikan harta dankesejahteraan antara "orang kaya" (rich) dengan "orangmiskin" (poor).Â
Berbicarasebaran harta dan kepemilikan, sering digunakan Prinsip Pareto 80/20 yang secara sederhana dapat dipahamibahwa 80% nilai kekayaan dalam masyarakat secara agregasi kepemilikannya beradapada 20% dari populasi masyarakat. Jika formula tersebut dilanjutkan akandidapatkan gambaran seperti pada Peraga-1.
Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi 1998, memberikan pemahaman seputar peningkatan kesejahteraa yang intinya dalam tatanan masyarakat dengan iklim kebebasan (freedom), sulit dihadirkan sistem sosial dengan penyebaran kesejahteraan secara efisien dan merata. Pernyataan Sen ini sangat mirip dengan kondisi masyarakat Indonesia pasca Reformasi yang sangat menikmati kebebasan dalam berbagai aspek; tetapi kemudian saat harus menemukan kenyataan pada sebaran kemakmuran dan kesejahteraan yang tidak merata atau dianggap tidak berkeadilan. Tetapi membalik keadaan dengan membatasi iklim demokrasi serta berbagai kebebasan menjadi hal yang muskil.
Sejak lama pemahaman yang mengendap pada segenap masyarakat bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam (SDA). Dengan kekayaan SDA tersebut akan menjadi modal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Pada kenyataannya, negara yang kaya dengan sumber daya alam sering mengalami konflik internal akibat pemerintahan yang jauh dari nuansa demokrasi tetapi lebih menjurus pada "otoriter". Juga, sistem oligarki dengan kolaborasi penguasa dan "sekelompok orang kaya" sangat sarat dengan iklim usaha yang KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme); dengan sikap penguasa yang cenderung melanggengkan kekuasaan. Kondisi SDA dan kekuasaan ini merupakan gambaran dari "Kutukan SDA" (Resource Curse) dan beberapa contoh negara yang mengalami seperti misalnya Venezuela, Nigeria, Irak, Iran.
Permasalahan di atas secara satu kesatuan dapatdilihat pada Peraga-2 termasuk langkah "trial-error" yang dapat ditempuh.
Beberapa kebijakan yang layak diperhatikan dalam mengupayakan kemakmuran serta kesejahteraan yang berkeadilan antara lain (1) Perbaikan sistem perpajakan, (2) Peningkatan kemampuan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan, (3) Peningkatan pendapatan tenaga kerja, (4) Perbaikan peraturan dan regulasi yang memberikan kesempatan dan pemberdayaan pada usaha kecil serta menengah, (5) Upaya distribusi atau penyebaran kepemilikan kekayaan sebagai modal usaha, (6). Peniadaan pemisahan (segregation) dalam berbagai hal misalnya pemukiman, layanan, sarana.
Tidak ada jaminan bahwa kebijakan tersebut akan mendatangkan hasil sesuai dengan harapan. Juga tidak mudah untuk melakukannya secara bersamaan dan memberikan dampak serta manfaat dalam waktu singkat. Justru sering kali kebijakan pemerintah mendatangkan kekecewaan pada masyarakat termasuk dampak penyimpangan yang muncul.Â
Nuansa berkeadilan, berkemampuan, serta berkecukupan memang belum hadir secara utuh; butuh "jalan panjang" untuk mencapainya. Tetapi dengan pendekatan "trial-error" masih akan menjanjikan harapan pada masa mendatang; daripada berkutat dan berputar-putar dalam lingkar permasalahan tanpa melangkah.
Â