Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kajian Berbasis Teori Konspirasi Sesat Makna

30 Juni 2016   16:56 Diperbarui: 30 Juni 2016   22:45 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teori Konsporasi | Koleksi Pribadi

Sejak peluncuran pertama Paket Stimulus Ekonomi pada awal September 2015, telah hadir 12 paket dengan tujuan sebagai daya tarik bagi penanaman modal; juga upaya reformasi proses perijinan usaha berserta insentif. Dalam bentuk lain, baru juga hadir Undang-undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) demi mengupayakan repatriasi modal milik warga negara Indonesia (WNI) serta mendapatkan tambahan penerimaan negara melalui pajak. Strategi yang hampir mirip dalam upaya menambah pendapatan negara melalui Revaluasi Asset (lihat artikel : Insentif PPh Revaluasi Aset Solusi Keliru).

Pada sisi kebijakan moneter, sejak awal tahun hingga Juni 2016 Bank Sentral (Bank Indonesia) telah melakukan koreksi (baca : penurunan) BI Rate sebanyak 100 basis poin; dan yang berlaku saat ini 6,5%. BI juga mulai pertengahan Agustus 2016 akan memberlakukan BI 7-Days Repo Rate sebagai pengganti BI Rate, yang lebih responsif terhadap kondisi moneter khususnya inflasi, nilai tukar dan suku bunga antar bank. Faktanya menunjukkan bahwa trend inflasi turun, demikian juga nilai tukar Rupiah (IDR) terhadapDolar Amerika (baca : IDR mengalami apresiasi terhadap USD). Sejalan dengan gejolak Brexit 23 Juni 2016 yang diikuti gejolak nilai tukar, kondisi nilai tukar IDR terhadap USD ternyata TKA alias Terkendali Aman.

Ketok-palu APBN Perubahan(APBN-P) 2016 telah dilakukan dan disepakati asumsi makro seperti target pertumbuhan 5,2%, tingkat inflasi tahunan 4,0 persen, nilai tukar IDR - USD pada 13.500, defisit anggaran 2,35% dari PDB (Produk Domestik Bruto), dan posisi utang publik berada pada kisaran 28%. Sebagai perbandingan, ambang batas atau rujukan defisit anggaran dan utang adalah : "Defisit tidak melebihi 3% dan rasio utang terhadap PDB tidak melebihi 60%". Walaupun pemerintah menggariskan penghematan tetapi anggaran infrastruktur tetap dipertahankan ! Kebijakan dalam sektor fiskal, moneter, dan makro yang sudah ditetapkan dan strategi stimulus perekonomian tidak terlepas dari "style and school of thought" para menteri bidang perekonomian dan pengambil kebijakan moneter; yang umumnya dari "Gang Salemba".

Pasca "tarik ulur Offshore vs Onshore Proyek Masela",di ranah energi kemajuan proyek 35.000 Mega Watt menjadi sasaran kritik. Demikian juga kontroversi "harga daging 80.000 perak per kilogram" yang dianggap muskil atau sulit terwujud; menjadikan pemerintah dan para menteri bulan-bulanan baik dalam media cetak, elektronik, dan digital atau media sosial. Masih belum cukup, kolaborasi (kelompok kerja) para menteri yang ditugaskan untuk mengawal implementasi Paket Stimulasi Ekonomi, menimbulkan kontroversi baru dengan kajian berbasis "konspirasi". Dari "Above The Line" yang muncul sikap dan silang pendapat para pembantu presiden; fenomena ini bak Quo Vadis Para Profesional. 

Bukan sesuatu yang luar biasa, jika dalam era keterbukaan informasi dan "connected world", kondisi konflik menjadi sorotan dan"umpatan". Konon, iklim demokrasi bernafas reformasi dengan transparansi, dan partisipasi, meningkatkan hasrat publik serta segenap"stakeholder" ikut dan diperhatikan dalam pengambilan keputusan. 

Keberagaman kelompok masyarakat dengan berbagai latar belakang pemahaman, pengetahuan dan kepentingan, upaya kolaborasi dan partisipasi yang hadir justru menimbulkan dampak kontra-produktif. Sehingga kemudian yang muncul cenderung menjadi kendala dalam pengambilan keputusan. Ibarat kata-kata bijak :"Jika ingin cepat pergilah sendiri namun untuk pergi jauh berjalanlah bersama"; menggambarkan situasi pelik. Pada satu sisi, Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang ingin bergerak cepat, menghadapi hambatan demi mengakomodasi keinginan serta harapan; situasi ini disebut sebagai Leadership Paradox.

Jika merujuk pada komentar berkaitan dengan perekonomian, penilaian negatif dari pengamat dan "para pengarang prosa bebas" menunjukkan miskinnya wawasan serta landasan pengetahuan (Generally Accepted Principle). Sering digunakan indikator sesaat (snapshoot) kondisi perekonomian (termasuk fiskal dan moneter) tanpa melihat pada suatu rentang waktu (time horizon). Saat bicara penerimaan negara, selalu menunjuk pada sisi penerimaan tanpa memahami kondisi sektor private dan korporasi yang mengalami Balance Sheet Recession; walaupun memang reformasi perpajakan patut mendapatkan perhatian. (Lihat artikel : Simalakama Penerimaan Pajak). 

Jika membandingkan indikator defisit anggaran, utang pemerintah,serta trend cadangan defisit, selalu muncul retorika anti utang yang konon kelak akan membuat sengsara anak dan cucu. Padahal jika membandingkannya dengan kondisi pada perekonomian negara lain (misalnya India dan China), kondisi Indonesia lebih menjanjikan. (Lihat : Potret Perekonomian China, India, dan Indonesia). Sering muncul kritik terhadap pengelolaan sumber daya alam (SDA) tanpa mencoba melihat secara jernih apa yang terjadi pada negara yang mengandalkan SDA serta tekanan yang dihadapi saat ini. (Lihat artikel : Anomali atau "Norma Baru" tetapi Faktanya Fenomenal).

Soal pembangunan infrastruktur yang didorong Presiden Jokowi dalam kondisi defisit anggaran, mendapatkan cemooh tetapi tidak pernah melihat catatan pembangunan infrastruktur pada masa lalu yang dampaknya dirasakan sekarang. Tanggapan terhadap kritik yang mempersoalkan defisit yang ditutupi utang demi membangun infrastruktur dibahas dan disajikan secara sederhana dalam pemahaman "utang untuk menutupi defisit akan diselesaikan dengan cara penambahan utang" (Lihat artikel : DefisitAnggaran, Infrastruktur dan Chutzpah).

Memperhatikan kajian atau kritisi terhadap masalah perekonomian dan infrastruktur, seperti pada artikel : Jokowi Mencium Kudeta Merangkak Jusuf Kalla?; disajikan tanpa dukungan data serta fakta. Layaknya tendangan pisang dalam permainan sepakbola yang konon melengkung mengarah ke gawang lawan. Sayangnya yang melakukan tendangan bukanlah seorang Roberto Carlos (Real Madrid- Brazil) atau Messi (Barcelona - Argentina). Ibarat reportase atau siaran pandangan mata melalui radio, yang muncul suara komentator : ... sayang sekali tendangan pisang yang diambil mengarah jauh dari sasaran alias melenceng! 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun