[caption caption="Sumber gambar: Huffington Post"][/caption]Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi
Dua organisasi keuangan dunia masing-masing IMF dan World Bank memberikan pandangan terhadap perekonomian Indonesia dalam menapak masa 2016. IMF melalui Chairwoman Christine Lagarde memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sedikit naik dari 2015 dan mencapai 4,9%, ditambah dengan catatan agar segera merevisi APBN 2016 khususnya dalam pengelolaan defisit akibat (ancaman) penerimaan negara yang bakalan menurun tidak sesuai target. Sementara World Bank dalam laporan yang diterbitkan Maret 2016 memprakirakan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,0%, di bawah target APBN 5,3%. Bank Indonesia optimis dengan ramalan akan pertumbuhan yang dapat mencapai antara 5,2 - 5,6%.
Sebagai gambaran, pada Grafik 1 diberikan pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) beberapa "group of countries" masa 2013 - 2015.
Grafik 1 : Pertumbuhan GDP Beberapa Kelompok Negara atau Regional
[caption caption="Prepared by Arnold M - Source: IMF imf.org/external/datamapper/index.php?db=FM. Catatan EM & DE: Emerging Markets & Developing Economics, East Asia mencakup Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Jepang, South Korea, Mid East: Middle East, Latin America: South America Countries"]
Melihat sekilas kondisi global di atas dan pencapaian pertumbuhan GDP, pada tingkat berapa prosenkah pertumbuhan ekonomi (GDP) yang layak bagi Indonesia dan strategi apa yang perlu ditempuh saat gejolak menekan pertumbuhan ekonomi global?
Mahzab Ekspansi atau Kontraksi
Dalam tren pertumbuhan ekonomi yang turun (sering disebut sebagai masa resesi), ada dua pilihan kebijakan anggaran yang dapat dipilih yaitu Stimulus (Ekspansi) atau Austerity (Kontraksi). Keputusan atas pilihan kebijakan ini bukan soal salah atau benar tetapi kesesuaian dari kondisi yang dihadapi.
Secara sederhana, dengan kebijakan Austerity atau Kontraksi, pemerintah melakukan langkah pengetatan anggaran belanja dan menaikkan target penerimaan pajak agar dapat mencapai surplus anggaran (atau setidaknya mengurangi defisit anggaran). Kebijakan ini diharapkan meredakan "over heating" dan dalam jangka panjang akan mengurangi tekanan utang. Sedangkan dalam kebijakan Stimulus atau Ekspansi, pemerintah melakukan pelonggaran anggaran belanja demi mendorong kegiatan usaha, juga "meredakan" target penerimaan pajak dengan implikasi peningkatan defisit anggaran. Kebijakan Ekspansi ini dapat menyebabkan over heating perekonomian dan peningkatan jumlah utang untuk menutup defisit yang berimplikasi ancaman tekanan utang pada masa mendatang. Membandingkan dua kebijakan tersebut seperti memilih dari antara dua pemikiran "Guru" ekonomi. Stimulus erat kaitannya dengan John Maynard Keynes dan mahzab Keynesian Economics, Austerity dengan pemikiran Frederich Hayek dan mahzab ekonomi Austerian School.Â
Menghadapi kondisi tekanan pertumbuhan global, sejak 2015 pemerintah telah memilih kebijakan stimulus. Dan sejak awal 2016 Bank Indonesia sebagai otoritas moneter telah memulai langkah stimulus moneter melalui penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate). Pada sisi penerimaan pajak, Presiden Jokowi menginginkan peningkatan rasio pajak (Jumlah penerimaan pajak terhadap GDP) yang pada 2015 besarnya 11%, peningkatan ini dicapai melalui tahapan hingga mencapai rasio 16%.
Visi dan Model
Bukan sekadar menjawab berapa pertumbuhan 2016, tetapi sangat perlu wawasan akan masa depan yang kuncinya pada investasi saat ini. Tanpa investasi, dengan berbagai bentuknya, usah berharap akan pertumbuhan, ibarat rangkaian kata bijak: Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (SMAAMB).
Jika sekadar memberikan angka, yang muncul akan berada pada kisaran 5%. Tetapi perlu ditetapkan target yang terukur untuk suatu rentang waktu misalnya 10 tahun hingga 2025. Memperhatikan kemampuan yang dimiliki dan kondisi global, layak jika ditargetkan pada 2025 Gross Domestic Product (GDP atau PDB: Produk Domestik Bruto) besarnya dua kali GDP 2015. Agar dapat mencapai target tersebut, rerata pertumbuhan yang harus dicapai setiap tahun besarnya 8%. BI mengindikasikan angka pertumbuhan 7% bisa dicapai dengan agresivitas pembangunan infrastruktur dan memperhatikan tata kelola anggaran. Namun dengan memperhatikan angka pertumbuhan 2015 sebesar 4,79%, peningkatan pertumbuhan perlu bertahap. Pertumbuhan perekonomian bukanlah "instant noodle" yang dapat tersaji dalam sekejap!