Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Krisis di Ujung Terminal KA Cepat

3 Februari 2016   15:56 Diperbarui: 4 Februari 2016   10:26 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paradoks Kepemimpinan dan Konektivitas

Sejalan dengan gelora pembangunan infrastruktur sebagai "critical path" pertumbuhan perekonomian, muncul kontroversi seputar pembangunan kereta api cepat Jakarta - Bandung (KCJB). Setelah tertunda pada awal September 2015, berlanjut dengan keputusan penunjukan konsorsium CRC (China Railway Corporation) pada Oktober 2015, dan ground breaking pada 21 Januari 2016; merupakan picu perdebatan berbagai pihak dengan aneka ragam sudut pandang. Ibarat sinetron, episoda yang tampil terkesan berulang dan membosankan tetapi ternyata tetap menyedot perhatian. Menarik untuk melihat fenomena ini dalam konteks paradoks kepemimpinan, konektivitas, dan nilai.

Dalam iklim demokrasi bernafas reformasi dan transparansi, kolaborasi dan partisipasi merupakan prasyarat bahkan tuntutan segenap "stakeholder" termasuk masyarakat untuk ikut dan diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Namun tidak dapat dihindari keanekaragaman kelompok masyarakat yang terlibat dengan berbagai latar belakang pemahaman, pengetahuan dan kepentingan. Tetapi kemudian, nuansa kolaborasi dan partisipasi yang dikembangkan justru menimbulkan dampak kontra-produktif yang cenderung menjadi kendala dalam pengambilan keputusan. Ibarat "words of wisdom" (kata-kata bijak) yang mengatakan : "Jika ingin cepat pergilah sendiri namun untuk pergi jauh berjalanlah bersama". Situasi ini (disebut : Paradoks Kepemimpinan - Leadership Paradox) membuat Presiden Jokowi yang ingin bergerak cepat tetapi (mungkin) merasa terhambat akibat mengakomodasi partisipasi berbagai pihak.

Sejalan dengan dukungan teknologi digital, memungkinkan banyak orang dan komunitas terkoneksi dalam forum media sosial (medsos), dan melalui media tersebut mengalir "flood of information" dari berbagai sumber dengan beragam maksud dan tujuan. Sulit bagi penerima informasi untuk dapat membedakan informasi "sehat" dan "sesat". Diseminasi atau penyebaran informasi yang seharusnya bermanfaat justru menimbulkan kisruh serta mudahnya terjadi perubahan sikap akibat terbawa arus dari pendapat pihak lain (disebut herding atau bandwagon effect). Fenomena ini disebut Paradoks Konektivitas; saat banyak orang ingin selalu terkoneksi untuk mendapatkan informasi, kejelasan atau konfirmasi tetapi pada sisi lain akan rawan mengalami sesat paham. Paradoks Kepemimpinan dan Konekvitas merupakan kondisi nyata yang berlangsung dan berkembang sejalan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Faktor Resistensi

Jika dicermati penolakan atau resistensi terhadap KCJB, sepertinya faktor China sangat dominan. Mungkin berbeda jika yang dipilih adalah Jepang dengan produk Shinkanzen; yang konon paket penawarannya membutuhkan jaminan pemerintah dan (sedikit) lebih mahal. Kondisi resistensi ini mirip dengan situasi pada awal 1970-an saat produk "Made In Japan" mulai muncul sebagai opsi yang menawarkan harga lebih murah. Peristiwa Malari 1974 dengan demo anti Jepang saat kunjungan PM Jepang Tanaka merupakan puncak ekspresi penolakan tersebut. Resistensi pada faktor China itu tidak lepas dari pengalaman penggunaan produk China misalnya di sektor kelistrikan (mutu barang dan waktu penyerahan tertunda), telekomunikasi, atau produk motor China.

Berdasarkan riset 2015, persepsi publik terhadap Jepang dan China diberikan pada Chart-1 berikut ini.

Sumber Informasi : Pew Research Center

Dari hasil riset di atas, Jepang mendapatkan preferensi lebih baik daripada China.

Dalam kontroversi kereta api cepat banyak alasan, pertimbangan, justifikasi dan kajian akademik dari berbagai disiplin muncul pada domain publik, termasuk media cetak, elektronik, dan media sosial; dari berbagai komunitas ataupun individu yang nadanya mendukung, menolak, atau bersikap netral. Namun upaya merubah persepsi tidak dapat dilakukan seketika dan merupakan tahapan panjang bak "long and winding road". Sepertinya halnya Jepang merubah persepsi Asia, dan khususnya merubah masyarakat di Indonesia dalam memilih mobil pada era 1970/80-an dari produksi "Western Countries" (Holden, Ford, Mercedes, Fiat, Peugeot) menjadi Toyota, Datsun, Nissan, Honda.

Rasionalitas Pengembangan Infrastruktur 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun