Gejolak Global
Dalam harian Kompas dimuat artikel`"Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan" serta "APBN dan Politik Negara". Artikel pertama membandingkan kedua mahzab kapitalis dan kerakyatan; sementara yang kedua mengaitkannya dengan peran negara dalam perekonomian (active state). Sesungguhnya menarik berwacana dan berargumentasi dalam iklim pro-kontra tentang mahzab perekonomian yang sesuai untuk sistem perekonomian terbuka Indonesia. Dalamnya mencakup 255 juta populasi dengan tingkat GDP (IMF - 2014) berada pada posisi ke-16. Sering kali wacana yang muncul menggugat ekonomi kapitalis tetapi kemudian tidak didukung dengan pemahaman yang lengkap serta komprehensif. Demikian halnya dengan "active state" dan peran negara melalui Badan Usaha Milik Negara; tidak memberikan rujukan pada suatu pengalaman keberhasilan atau kegagalan, tetapi hanya merangkai logika dan implikasi bercampur opini berdasarkan sudut pandang masa lalu.
Turbulensi dan gejolak finansial global sering menunjuk biang masalah pada 5(lima) negara atau area yaitu : Euro Area, USA, China, Jepang, dan UK. Sebagai gambaran, nilai transaksi "foreign exchange" harian mencapai sekitar USD 5,3 Triliun (Bank for International Settlement - BIS 2013), dengan dominasi pada USD diikuti Euro, JPY, GBP (Renminbi China masih kecil jumlah yang diperdagangkan). Transaksi terjadi dalam 7x24 jam per minggu tanpa henti. Nilai ini jauh lebih besar daripada perdagangan barang pada 2014 yang selama satu tahun mencapai USD 19 Trilion. Dengan keadaan ini, sedikit gejolak pada pasar keuangan akan berdampak tularan (contagion) global. Keadaan ini terjadi karena perilaku para dalam pasar keuangan yang sarat sentimen dan spekulasi, serta pengaruh herding (band wagon effect). Keputusan dan tindakan diambil tanpa pertimbangan yang cermat dan rasional; demi mendapatkan "quick return" (behavior economic). Hal ini berbeda dengan perekonomian yang selayaknya berdasarkan ekspektasi rasional (rational expectation) dalam horizon waktu panjang dan berkelanjutan (sustainable).
Utang dan Investasi
Artikel : "Kemampuan Bayar Utang Lemah" menganalisis penurunan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dengan perbandingan rasio penerimaan pajak dan pembayaran utang 2009 2015. Tetapi analisis yang dilakukan tanpa berbasis pemahaman akan siklus perekonomian dan kondisi resesi (trend pertumbuhan perekonomian menurun) yang sedang terjadi. Menghadapi kondisi resesi, pemerintah memutuskan untuk menjalankan kebijakan stimulus dan bukan "austerity" (pengetatan). Dengan menjalankan kebijakan stimulus fiscal, pemerintah perlu meningkatkan belanja dan konsumsi; sementara sisi pajak diturunkan. Implikasinya defisit anggaran akan bertambah dan kekurangan tersebut perlu ditutup dengan utang (internal maupun eksternal). Dari sisi moneter (seharusnya) Bank Indonesia mendukung dengan penurunan suku bunga acuan dan kebijakan Quantitative Easing (pengenduran likuiditas). Dengan demikian, perbankan dapat melakukan ekspansi kredit bagi dunia usaha. Dalam hal kebijakan stimulus moneter, Bank Indonesia masih sangat konservatif sehingga berdampak krisis menjadi kian dalam.
Tentang investasi, dalam artikel : "Momentum Reformasi Investasi", masih kental dengan paradigma lama khususnya pada eksploitasi sumber daya alam. Sudah selayaknya dalam strategi investasi, khususnya Foreign Direct Investment (FDI) yang diusung pemerintah, didasarkan pada pandangan masa depan (foresight) dan tantangan pemenuhan kebutuhan umat manusia yang terus berkembang jumlahnya. Perlu diantasipasi kebutuhan pangan, energi yang berbasis energi baru dan terbarukan, serta pemenuhan kebutuhan air dan sanitasi (Food, Energy, Water & Sanitation). Ini sejalan dengan semangat Sustainable Development Goals yang diusung Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations).Â
Kutukan SDA
Sebutan Kutukan Sumber Daya Alam (SDA) seakan tidak sesuai dengan makna bahwa SDA merupakan pemberian Sang Pencipta. Tetapi sering kali SDA menjadi penyebab konflik. Jika menilik lebih jauh negara-negara yang tergolong kaya dengan SDA, akan didapatkan kondisi pertumbuhan perekonomian yang tidak sesuai dengan harapan seperti yang diberikan pada Tabel-1.
Tabel-1 : Pertumbuhan GDP Negara Kaya SDA
Sumber Informasi :Â IMF Data Mapper
Dengan memperhatikan Tabel-1, negara yang kaya SDA justru sering mengalami krisis akibat turunnya pertumbuhan sepertinya yang dialami Venezuela, Brazil, Iraq, Iran, dan South Africa. Negara yang mengandalkan penerimaan dari ekspor komoditas, dengan turunnya harga komoditas global akan mengalami penurunan pendapatan yang akhirnya menimbulkan krisis dan gejolak politik serta perebutan kekuasaan.
Dalam hal cadangan emas (gold deposit), dari 10 lokasi dan negara yang memiliki cadangan besar (lihat tabel), negara seperti Uzbekistan, Dominican, Argentina, termasuk Indonesia, masih sulit keluar dari masalah perekonomian dan peningkatan pendapat per kapita yang masih di bawah rerata global. Sementara negara lainnya, sudah mencapai tingkatan "pendapatan per kapita tinggi". Hal ini bukan mengandalkan SDA tetapi sektor produksi.
Table-2 : Top 10 Gold Deposit
Sumber Informasi :Â Mining.com
Wacana dan pro-kontra perekonomian yang dikembangkan sering kali tanpa dukungan landasan prinsip ekonomi yang diterima dan sudah terbukti (Generally Accepted Principle), sehingga konklusi dan implikasinya percuma. Demikian juga pembahasan utang negara (publik) yang sesat paham karena pola pikir seakan yang berutang adalah pribadi. Perekonomian bukan untuk waktu singkat tetapi dengan horizon waktu panjang. Apa yang kelak dinikmati pada masa mendatang sangat bergantung pada investasi yang dilakukan saat ini. Tanpa investasi dengan dukungan strategi yang tepat, sulit mendapatkan tuaian yang bermanfaat.
Ungkapan bijaknya : Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai.
Â
Arnold Mamesah - Laskar Initiatives
Awal pekan ketiga Desember 2015
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H