Di tengah suasana kisruh HST ini, terbit artikel bertajuk : Menyoal Ribut-ribut Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Bagian awal artikel yang ditulis Rhenald Kasali (masih terkait Gang Salemba), diberikan 5(lima) catatan berkaitan dengan "quick decision" yang konon sudah diambil pemerintah memilih HST China dengan skema B2B serta melibatkan 4 (empat) BUMN. Juga diberikan wawasan tentang Value Creation dan Model serta Ekosistem Bisnis yang selayaknya menjadi pertimbangan dalam melakukan perubahan. Tidak ada yang salah dalam pembahasan RK tersebut. Mungkin saja dapat menjadi rujukan pembahasan tingkat korporasi atau "case study" pada sekolah bisnis.
Tetapi ada perbedaan wawasan pemikiran yang (mungkin) tidak terjangkau RK; dan yang sering menjadi pangkal permasalahan antara pola pemikiran dunia bisnis dan perekonomian negara (Lihat eartikel : A Country is Not a Company). Seorang CEO korporasi dengan beberapa lini usaha (Line of Business) atau bahkan Super CEO sebagaimana Menteri BUMN yang mengendalikan lebih dari 100 unit usaha (BUMN), pemikiran dan wawasannya hanya pada Strategic Planning dalam kurun 5 atau 10 tahun (seperti halnya RUPTL PLN). Tetapi seorang kepala negara, dituntut berwawasan lebih jauh. Bahkan dalam hal NKRI sudah sepatutnya mencapai hingga usia satu abad, yaitu 17 Agustus 2045.
Dalam pengambilan keputusan, seorang CEO yang juga pendiri (founder) korporasi dapat segera mengambil keputusan dengan resiko yang ditanggung sendiri. Juga, CEO atau Super CEO dapat mengambil keputusan terhadap salah satu lini bisnis yang tidak mencapai kinerja dengan misalnya menutup lini bisnis tersebut. Sangat berbeda dengan kepala negara NKRI yang tidak dapat bertindak semena-mena karena ada tatanan kenegaraan yang mengatur. Dalam hal perencanaan stratejik jangka panjang, RPJPN dan RPJMN merupakan panduan utama. Termasuk proses pengambilan keputusan yang sering dinilai "ribet", panjang dan bertele-tela. Keputusan yang diambil "professional" CEO hanya berdampak pada "management contract" dan berhadapan dengan Dewan Komisaris atau para pemegang saham. Tetapi sangat berbeda dengan seorang presiden.
Berbicara perekonomian negara, bukanlah konglomerasi bisnis dan berbagai ukuran kinerja dalam rentang waktu pendek !
Panacea dan Inisiatif Industri
Dalam resesi dan perlambatan perekonomian, yang dibutuhkan bukan sekedar "Obat Analgesik" atau penghilang rasa sakit (pain killer) yang sesaat menghilangkan pusing atau demam. Perekonomian Indonesia butuh obat mujarab (Panacea) untuk penyembuhan dari berbagai penyakit birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan serta dunia usaha yang sarat praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme); dalam siklus waktu panjang. Sayangnya, penggunaan Panacea sepertinya diabaikan.
Jelang satu tahun Kabinet Kerja, sepertinya kualitas Gang Salemba tidak sekelas Mafia Berkeley yang disiplin pada panduan. Apalagi jika membandingkannya dengan The M.I.T Gang, yang berlatar belakang teknologi, berpegang pada Generally Accepted Principle, melakukan analisis berbasis data yang akurat, akrab dengan mahzab Supply Economic, serta sarat inisiatif, investasi, dan fokus pada indutri prioritas.
Â
Arnold Mamesah - Laskar Initiatives
Awal Pekan Ketiga Oktober 2015.
 Â