Bersama Sang Fajar Pengharapan
Jelang duo Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintah di Persada Nusantara, isu (dan harus dan pasti) kenaikan harga jual BBM terus bergulir hangat. Ungkapan ketakutan masyarakat dengan bumbu demonstrasi menentang kenaikan harga BBM, mengangkat kecemasan akan dampak kenaikan harga dan biaya hidup dan seakan menunjukkan hilangnya pengharapan kepada duo JKW-JK.
Pernyataan simpatik “Pengalihan subsidi untuk bantuan bagi masyarakat”, dukungan kesiapan sisi moneter menghadapi ancaman inflasi dan nilai tukar serta sikap kaum pengusaha yang mendukung kenaikan harga BBM (hingga Rp. 3.000,- (Tiga Ribu Rupiah)) merupakan ekspresi lain yang memandang kenaikan BBM vis a vis pengurangan bahkan peniadaan subsidi merupakan cara untuk percepatan pembangunan, yang salah satunya adalah sektor infrastruktur, agar dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Belenggu Romantisme Masa Lalu
Kisah roman Tono dan Tini dalam novel “Belenggu” karya pujangga Armijn Pane, mengingatkan pada kenangan masa lalu yang membuat pasangan Tono-Tini tidak dapat “move on”. Serupa dengan BBM (Bahan Bakar Minyak), romantisme (baca : paradigma) negeri pengekspor minyak dengan sumber energi berlimpah dan murah, erat terpatri dalam benak masyarakat.
Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesejahteraan, perilaku (behaviour) penggunaan modus transportasi, tidak dapat disangkal merupakan faktor pendorong peningkatan konsumsi BBM. Juga, “maju-mundur”nya program konversi energi, dengan bumbu “moral hazard” aparat dan petugas dalam bentuk “penyelundupan” dan pembocoran” BBM subsidi akibat disparitas harga, merupakan fakta dari peningkatan konsumsi dan beban subsidi.
Pada sisi lain, penurunan tingkat produksi (depletion) sumur minyak, tidak-banyaknya penemuan sumur dan produksi baru sebagai dampak dari hambatan kebijakan dan tantangan masalah komunitas di daerah eksplorasi, serta konsistensi kebijakan dan perlakukan pemerintah pada sektor perminyakan merupakan kenyataan dan tantangan pada sisi peningkatan “supply” minyak
Sebagai implikasi logis dari penurunan sisi “supply” dan penambahan signifikan sisi demand, maka pendulum berubah dari negera pengekspor menjadi pengimpor.
Agar dapat “move-on”, segera bebaskan belenggu romantisme dengan bingkai empatik bagi kemaslahatan masyarakat.
Sesatan BBM yang Bikin Mabuk
Saat berkalung pengekspor minyak, pemerintah lalu sebagai pemegang amanat, berupaya memastikan ketersediaan (availability), menjamin keteraihan serta mengupayakan agar masyarakat mampu menjangkau harganya. Dalam kondisi “supply” minyak dalam negeri tidak mampu memenuhi konsumsi, keharusan melakukan impor menjadi jalan keluar. Situasi harga minyak di pasaran dunia yang naik tajam dan turunnya (depresiasi) nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (baca : US Dolar), menyebakan ongkos penyediaan BBM melalui impor bertambah. Agar harga dapat selalu terjangkau, pemerintah memasukkan tambahan beban pengadaan (baca : subsidi) pada anggaran (baca : APBN). Sampai titik ini, tindakan pemerintah masih dianggap bijak. Namun, saat perilaku masyarakat tidak berubah bahkan konsumsi kian bertambah, beban subsidi berimplikasi menggerogoti kemampuan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian pada sektor pembangunan dan kemaslahatan masyarakat. Kondisi minim investasi khususnya pembangunan infrastruktur, berdampak bagi dukungan pada sektor industri menuju de-industrialisasi yang berlanjut turunnya kemampuan penyerapan tenaga kerja serta timbulnya dampak sosial ekonomi masyarakat yaitu kemiskinan dan kemelaratan berkelanjutan (Forever Poverty & Slump).
Hal lain yang perlu diperhatikan, akibat sedotan dana untuk subsidi, investasi pada pengembangan kemampuan dan kompetensi insani mengalami degradasi.
Ternyata upaya penyediaan BBM bersubsidi dengan tujuan agar dapat dijangkau dan dinikmati masyarakat dalam mendukung kegiatan, berbuah kondisi memperihatinkan (paradoksal tujuan dan upaya dengan kenyataan)
BBM terjangkau karena subsidi (baca : murah) pada kenyataannya telah membentuk perilaku masyarakat menjadi tidak sadar dan bahkan tidak peduli (mabuk), bahkan tidak cermat dan cenderung boros dalam ber-BBM.
BBM murah menimbulkan sarat ketergantungan (madat) sehingga enggan untuk beralih kepada sumber yang lain misalnya gas alam atau bio energi. Rendahnya kualitas infrastruktur pendukung, dampak sosial ekonomi masyarakat, degradasi kemampuan insan manusia, ibarat detak lonceng kematian yang secara perlahan tapi pasti menuju kehancuran.
Apa yang salah dengan kebijakan subsidi BBM.
Niat subsidi yang ditujukan pada masyarakat yang kemampuan dan daya belinya rendah ternyata sebagian besar dinikmati kalangan menengah ke atas (kutipan dari website Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu RI : “82 Persen Subsidi BBM Terindikasi Salah Sasaran”). Ibarat peribahasa, subsidi BBM bak menggarami lautan, sehingga terasa ada yang sesat dalam pendistribusian (Pareto : Rule 80/20) subsidi melalui BBM.
Timbangan Kebijakan dan Tujuan
Lantas apa pilihan yang tersedia ? Ataukah ingin terbuai dengan kenangan lagu “Aku masih seperti yang dulu ?”
Rumah Transisi yang konon merupakan “dapur” dalam penyiapan “menu” kebijakan bagi duo JKW-JK, mengeluarkan pernyataan yang berkaitan dengan mekanisme impor BBM yang konon sarat kaitannya dengan yang namanya “Mafia”. Juga diindikasikan program bagi mereka yang terdampak kebijakan “Pengalihan Subsidi BBM”.
Resep kebijakan dan rencana tindakan (action plan) yang disiapkan juga dukungan kalangan dunia usaha dan kesiapan sisi moneter (Bank Indonesia) secara sepitas dapat dikatakan komprehensif dan sangat positif serta “Layak” (Feasible) untuk dilaksanakan. Ukuran sederhana atas kelayakan suatu kebijakan dan program dapat berupa kemampuan sumber daya pendukung. Namun akan lebih baik dan menjadi sempurna jika memasukkan faktor timbangan Langgeng (Viable) dan Logis (Plausible).
Kelanggengan dari suatu kebijakan tidak semata diukur dalam kurun waktu terbatas (misalnya 6 – 12 bulan atau bilangan 1-2 tahun), tetapi dapat terus berlanjut (sustainable) dalam modus atau bentuk lainnya yang berkaitan serta bermakna positif. Misalnya, pengalihan subsidi yang ditujukan untuk membantu masyarakat bukan hanya dalam bentuk subsidi pangan, kesehatan, pendidikan dan tranportasi. Tetapi secara konsisten ditujukan dalam upaya membentuk Sumber Daya Insani yang kelak menghasilkan insan yang bermental tangguh, berkompetensi dan bermoral bersih dan taat, melalui jalur pendidikan dan jalur pengembangan kemampuan spesifik.
Ukuran logis berhubungan dengan nalar yang digunakan dalam kebijakan dan program yang akan dijalankan. Kehendak untuk pengalihan subsidi dengan memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak memerlukan “pengawalan” secara sistematis agar dapat mengeliminiasi penyimpangan (moral hazard) para pelaksana program.
Bentuk bantuan tunai atau yang sejenisnya, sarat akan godaan penyimpangan dan kepentingan kelompok. Namun, penggunaan warisan data kependudukan (eKTP dengan Social Identity Number atau Nomor Penduduk), merupakan basis dalam penentuan “pareto-distribusi” bantuan. Dengan demikian, upaya yang pernah dilakukan pada masa lalu melalui pengembangan eKTP dan Nomor Penduduk akan terasa bermanfaat tanpa harus “Reinvent the Wheel” atau buang-buang waktu untuk bikin sesuatu yang baru padahal sudah ada. Alasan kesahihan data dan belum mencakup seluruh penduduk bukan hal yang menghalangi penggunaan data kependudukan yang ada. Sebaliknya merupakan dorongan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas data kependudukan sehingga pada kemudian hari, niatan penggunaan sistem eVoting dalam Pilkada, Pileg, atau bahkan Pilpres akan dapat terwujud. Bukankah hal ini selaras dengan peribahasa “Sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui”
The show must go on. JKW-JK akan segera menabuh gendang dan memainkan irama dengan para pembantu (baca : kabinet) harus siaga, tangguh dan tanggap memperagakan dan melaksanakan kebijakan dan program yang sudah disiapkan. Masyarakat dari berbagai kalangan selayaknya diundang ikut serta bersama dalam “tari rakyat” yang saling mendukung dan melengkapi. Tinggalkan kenangan masa BBM Subsidi dan murah yang ternyata bikin Mabuk, Madat, dan Modar.
Sekedar titipan dalam pelaksanaan program.
1. Ada jargon lama 4-sehat 5-sempurna. Akan lebih elegan jika 4A (Acceptability, Accessability, Availability, Affordability) menjadi 5-A nan sempurna dengan mengundang Accountability (Akuntabilitas). Akuntabilitas berafinitas dengan Transparansi dan Pertanggungjawaban khususnya kepada publik yang senantiasa haus akan informasi dan keterbukaan.
2. Bukan sekedar jargon perang dan basmi Mafia. Tetapi yang merupakan “bahaya-laten” dalam konsumsi BBM adalah perilaku masyarakat yang cenderung bersikap “default, resistant and unpredictable” (ciri behaviour economic) . Kenaikan harga tidak selalu berbuah perubahan pola konsumsi. Tetapi tersedianya pilihan yang memberikan kenyamanan (convenience) dan ketersediaan akan menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan. Belajar dari kebijakan lalu pada kenaikan harga BBM, penggunaan moda transportasi publik, serta konversi BBM ke penggunaan gas, yang gagal merubah pola konsumsi. Dengan komunikasi dan persuasi yang elok, konsisten dan berkelanjutan dapat merupakan resep mujarab untuk perubahan pola konsumsi.
3. Upaya pengalihan subsidi bagi kepentingan masyrakat memberikan nuansa keberpihakan. Selayaknya, keberpihakan bukan semata milik pemerintah. Dengan memberikan kesempatan dan melibatkan kalangan menengah ke atas dalam berbagai upaya pemerintah merupakan ajakan simpatik; bukan untuk menambah beban kalangan menengah dan atas, tetapi ikhtiar mewujudkan keseimbangan karena semua satu IndONEsia.
23 September 2014
S. Arnold Mamesah - Laskar Initiative
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H