Sekitar pukul 08:00 WIT seusai apel pagi pikirku saya akan stay atau tidak ada job hari ini sehingga saya mencari tempat duduk untuk menikmati nasi kuning yang dibelikan pamanku di pinggir jalan.
Biasanya apel dan doa selesai, pengawas kami membacakan nama untuk pembagian job atau lokasi kerja. Sehingga kuping seakan tidak sabar mendengar nama juga nomor unit berapa yang akan diberikan kepada saya, begitu juga dengan teman kerja yang lainnya.
Sebab setiap pagi atau sore dalam pembagian job namaku tidak pernah absen (selalu disebut). Dan nomor unit biasa yang dikasih adalah 432 (nomor unit loder).
Ternyata, sampai selesai pembagian job namaku tidak kunjung disebut. "Saya ada kesempatan untuk istirahat hari ini atau setidaknya ada waktu beberapa jam untuk istirahat," gumamku dalam hati. Kebetulan alat berat yang biasa diberikan kepada saya belum diperbaiki (rusak).
Seusai sarapan pagi di tempat atau teras kantor (tempat apel), tiba-tiba namaku di panggil. "Ah, baru saja saya mau menikmati istirahat sudah dipanggil. Pasti saya dapat job lagi," lagi gumamku dalam hati agak sedikit kesal.
Tetapi mau bagaimana lagi, namanya juga kerja ya harus kerja! Saya pun diberikan kunci, alat tersebut adalah alat pinjaman dari devisi lain karena biasanya ketika pekerjaan kami banyak atau alat kami kurang (sedang rusak) pengawas kami meminjam ke devisi sebelah.
Saya ambil kunci tersebut dan pergi ke unit dengan nomor yang tertera di gantungan kunci. Baru saja saya ingin memeriksa kendaraan (loder) salah satu pengawas (yang memberikan kunci tadi) monitor lewat HT atau radio bahwa alat tersebut tidak jadi dipakai.
Saya kembali ke tempat apel dan digantikan dengan unit lain bahwa saya membawa loder yang rusak untuk di bawa ke workshop (bengkel perusahaan)--diperbaiki. Setelah sampai dan mengecek kerusakan unit tapi sudah diperbaiki.
Saya naik dan mencoba menghidupkan unit tersebut untuk memastikan bahwa kondisinya sudah bisa atau layak dioperasikan--saya mengikuti sesuai arahan pengawas. Unit hidup normal tetapi saat mau jalan tidak ada tenaga. Sayapun melaporkan ke pengawas.
Menunggu beberapa jam orang workshop tidak kunjung datang, saya konfirmasi lewat radio ke pengawas tidak kunjung dijawab. "Ah, masa bodoh. Lebih baik saya diam tidak usah memberitahu," kataku berbicara dengan diri sendiri. "Justru ini yang saya inginkan agar istirahat di atas unit lebih lama."
Beberapa jam kemudian, datanglah temanku (teman sekerja) membawa oli transmisi sebab oli tersebut yang habis sehingga unit atau alat tidak saya bisa jalan, tidak ada tenaga.
"Arnol monitor," panggilan pengawas kami dari radio.
"Masuk!" jawabku.
"Saya sudah kirim ke sana oli transmisinya, nanti kamu isi sendiri," lagi suara dari radio.
"Waduh. Bagaimana caranya mengisi oli transmisi, tempatnya di mana? Kalau salah isi alatnya rusak saya kena sanksi lagi. Saya kan belum pernah melakukan hal ini karena biasanya yang mengisi adalah orang workshop." Saya menepuk jidat.
Beberapa menit kemudian teman saya datang dengan loder dan dua galon aqua berisikan oli transmisi di dalam baket loder.
"Arnol tahu cara mengisi oli transmisi?" tanyanya dengan rasa simpati. "Kamu tahu tidak cara isinya?" saya bertanya balik. "Tidak!"
Saya bingung mau bagaimana. Saya tipe orang yang tidak suka banyak bertanya walau "tidak tahu." Saya lebih suka menyelesaikan masalah sendiri sehingga saya mulai buka google dan you tube mencari informasi tentang tempat dan cara mengisi oli transmisi. Tetapi tidak ketemu. Disini saya mulai cemas dan ragu-ragu.
Dia juga (teman saya) belum pernah sehingga kami sama-sama mencari tahu tempat pengisian oli transmisi tersebut. Akhirnya, kami menemukan tempat pengisian oli transmisi. Dan dia pun pergi, kembali ke job untuk lanjut bekerja.
"Kalau salah abis saya!" rasa cemas terus menghantui pikiranku saat mengisi oli transmisi.
Satu jam kemudian, seorang Cina dari workshop datang. "Okelah!" teriaknya dari atas unit 'Dum Track (DT).' Saya pun lega karena tidak salah isi--sudah tepat tempat pengisian oli transmisinya.
Lalu apa yang bisa diambil dari cerita di atas?
Saya bukan egois atau sok tahu segala hal tetapi sebuah hal baru saya lebih dulu mencoba (percaya diri) dalam bertindak mengambil keputusan dan kalaupun salah saya mengambil hikmahnya dan bertanggung jawab atas kesalahan bila keputusan yang diambil salah. Juga dari situ saya bisa belajar dan menjadi pengalaman tersendiri bagi saya.
Memang, dari cerita tersebut saya dibantu oleh teman tetapi sebenarnya saya sudah ketahui lebih dulu namun masih "ragu" sebab segala sesuatu saya banyak mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan--tidak tergesa-gesa.
Setiap keputusan harus teliti, memikirkan dan siap menerima resiko yang timbul bila langkah atau keputusan yang diambil tidak tepat.
Dari pengalaman itu, saya mendapatkan pengalaman baru yang sebelumnya tidak diduga dan diketahui dapat saya alami dan tahu sehingga kelak bila terjadi hal yang sama saya sudah bisa melakukannya sendiri.
Weda, 2 Februari 2024
Arnol Goleo [00:50]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H