Mohon tunggu...
Arnol Goleo
Arnol Goleo Mohon Tunggu... Lainnya - Anakmomen

"Cukup pagi hari 'kau minum air susu ibumu', jangan sampai malam 'kau genggam buah dadanya.'"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendekatan Antropologi dalam Memahami Penghayat Kepercayaan

8 Oktober 2022   23:06 Diperbarui: 8 Oktober 2022   23:10 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia terdiri dari beragam macam kebudayaan dan kepercayaan atau agama.Dan keberagaman Indonesia ini tentu tidak dimiliki oleh bangsa lain.

Dalam memahami religi atau penghayat kepercayaan itu "tidak mudah." Apalagi mereka yang "fanatik" terhadap agamanya. Bahkan "kepercayaan moyang terdahulu oleh manusia modern menganggap mereka menyembah berhala." Benarkah mereka menyembah berhala?

Sebenarnya, batu, pohon, sungai, dan lain sebagainya yang dipakai atau digunakan oleh leluhur bukan untuk disembah melainkan sebagai tempat ritual kepercayaan atau agama mereka dan merupakan simbol dari hidup atau kehidupan serta memiliki makna yang dalam ketika dipahami berdasarkan kebudayaan setempat, (Edraswara, 2016).

Banyak dari kita yang berkonotasi negatif karena kita melihat kepercayaan leluhur berdasarkan kepercayaan atau agama yang kita yakini. Sudah pasti, kepercayaan para leluhur "tidak masuk akal." Tetapi, bagaimana kalau kalimat atau pernyataan itu kita balik. Artinya mereka (penghayat kepercayaan atau penganut kepercayaan leluhur) mengatakan hal yang sama terhadap agama yang kita yakini.

"Atau lebih ekstrim lagi mereka melemparkan sebuah pernyataan bahwa agama yang kita yakini adalah agama penjajah." Bagaimana reaksi kita? Apakah kita menerima dengan lapang dada? Seperti yang kita tuduhkan terhadap kepercayaan mereka?

Kemudian, bagaimana tanggapan kita ketika agama yang kita yakini disebut dengan "tidak berprikemanusiaan karena menyebarkan kabar baik atau keselamatan tetapi di balik itu ada yang korban?"

Bukankan itu dilarang oleh Tuhan? Sebab hukum Tuhan ialah kasih; mengasihi sesama, mengasihi alam (merawat alam), dan mengasihi kepada Tuhan. Bahkan kita juga diperintahkan  harus atau wajib mengasihi musuh. "Tetapi kenapa di balik penyebaran agama harus ada yang korban terutama yang menerima kabar baik itu?"

"Alasan kitab suci mana yang memperbolehkan kita membunuh?" Sekali lagi bukankah dalam hukum Tuhan yang telah disebutkan di atas bahwa jangankan sesama orang baik untuk saling mengasihi tetapi musuh sekalipun harus kita mengasihi juga bukan?

Memang, dalam zaman penjajahan salah satunya yang diinginkan penjajah adalah hasil bumi atau kekayaan alam Indonesia, tetapi bukan hanya itu, setelah ditaklukan bangsa ini diikuti penyebaran agama.

Dan menurut mereka (penjajah) mengatakan bahwa dulu moyang kita "belum beradab atau tidak maju seperti bangsa mereka." Benarkah demikian? Tetapi kenapa harus menjajah? Kenapa harus ada pembunuhan? Bukankah bangsa yang maju adalah bangsa yang makmur dan cinta damai?

Terlepas dari itu, sekarang ini setelah merdeka kita sudah memasuki beberapa dekade menganut beberapa keyakinan atau agama. "Masih adakah konotasi negatif terhadap penghayat kepercayaan (kebatinan) bahwa mereka menyembah berhala atau percaya kepada roh halus para leluhur, sesat?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun