Mohon tunggu...
Arnita Sari
Arnita Sari Mohon Tunggu... -

Mahasiswi yang sedang belajar untuk menjalani hidup yang seperti pacuan kuda dengan sebaik-baiknya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

The Silver Queen Man

11 April 2010   09:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia pria yang dingin. Acuh tak acuh. Mukanya tak berekspresi. Perokok berat. Dan, selalu membiarkan kumis tipis terbentang diwajahnya. Ia tak banyak bicara. Ia hanya mengeluarkan suara sepenuhnya. [caption id="attachment_115975" align="alignright" width="300" caption="google search"][/caption] Aku ingat ketika masih kecil aku begitu senang saat menyambut kedatangannya. Ia selalu membelikan sebatang cokelat Silver Queen. Sebenarnya Silver Queen itulah yang membuatku begitu tak sabar untuk menunggu kedatangannya karena sosok dirinya begitu asing bagiku. Sejak duduk di bangku SMP aku mulai tidak menyukainya. Bahkan membencinya! Ia sesosok pria asing di sini! Selalu menyuruhku membeli rokok di warung depan. Dan, aku harus selalu meminta uang kepadanya ketika ingin membayar uang sekolah. Ia lebih banyak diam dan bicara seperlunya. Selama SMA aku tak sabar ingin segera menyelesaikan sekolah. Aku ingin pergi sejauh mungkin darinya. Sebisa mungkin aku mau lepas dari kontrolnya. Aku tak mau melihatnya lagi. Sewaktu kecil, ia selalu memukuliku, entah dengan sapu entah dengan gantungan baju. Ia selalu menyalahkanku atas tindakanku yang menuntut kebebasan. Jiwa mudaku tak mau dikekang. Apalagi oleh orang yang hanya sok mengaturku, namun acuh tak acuh. Ia bahkan tak mengizinkanku untuk keluar pada malam hari. Ia tak pernah belajar untuk mengerti diriku, ia tak pernah tahu apa yang kurasakan. Ia memarahiku ketika mengetahui aku mulai berpacaran. Ia tak suka lelaki yang kusukai. Ia melarang, ia marah, ia diam. Ujian kelulusan telah berlalu. Nilai-nilai berhamparan di ijazahku. Aku lulus dengan nilai terbaik di sekolah. Namun, ia tetap diam. Tak memuji, tak menggubris, tak peduli, tak tersenyum. Ia dingin. Aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota, bahkan di luar pulau, jauh darinya. Aku mengepak barang-barangku. Tiket telah disediakannya, semua urusan perkuliahan akan ditangani oleh kedua kakakku yang telah terlebih dahulu berkuliah di kota yang kutuju. Mobil travel berangkat sangat pagi, sekitar pukul 06.00 WIB. Kala itu jalanan masih sepi, udara masih segar belum tercemar oleh asap hitam kendaraan bermotor. Mobil itu menjemputku di rumah. Aku naik dan kemudian travel bag-ku mulai dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Ketika itu, hanya ada satu penumpang lain di mobil. Mobil berjalan, dan pandanganku semakin jauh darinya. Ia tak akan ada dalam hidupku lagi. Aku terlepas! Aku lega! Seharusnya... “Kita balik ke kantor travel dulu ya, ada barang-barang kiriman yang harus diambil,” ujar sopir mobil itu. Aku sudah tak ingat lagi wajah supir itu karena memang pikiranku entah melayang ke mana. Mobil berhenti di depan kantor travel. Mesin dimatikan, sang sopir mulai sibuk mengatur barang-barang yang akan dimasukkan ke dalam mobil. Tiba-tiba sebuah motor mendekati mobil yang kutumpangi. Dari kejauhan aku melihat sosok pria dingin itu lagi. Ia mematikan mesin motornya dan tetap duduk di atas motor. Seorang wanita turun dari motor dan memberikan kepadaku sekotak bekal makan yang berisi potongan buah pir kesukaanku. Ia mamaku. Urusan sang supir telah selesai. Mobil kembali berangkat. Kembali aku melayangkan pandangan pada pria itu dari balik kaca. Seketika itu juga mataku basah, tak terbendung lagi air mataku mengalir dengan derasnya. Aku melihat sebuah wajah tua, tak berdaya, tatapan matanya yang kosong dan kesepian. Keriput mulai menggerayangi wajahnya. Satu demi satu garis itu terbentuk di mukanya, dan tak pernah kusadari selama ini. Setiap kali bertambah umurku, setiap kali itu juga bertambah kerutan di wajahnya. Ia tak lagi semuda dulu ketika memberiku sebatang cokelat Silver Queen. Aku ingat ketika ia menggendongku sewaktu ia pulang dari luar kota. Dengan tersenyum lebar ia mengayunkan sebatang Silver Queen padaku yang saat itu ada di pelukannya. Sepotong demi sepotong, kejadian dulu mulai muncul di benakku. Ia setiap pagi mengajariku. Sewaktu SD mengajariku bersepeda. Sewaktu SMP mengajari mengendarai motor. Pagi-pagi subuh ia membangunkanku. Betapa ia khawatir ketika salah satu jariku terluka dan berdarah akibat terjepit stang sepeda. Ia memboncengku. Secepat mungkin mengantarkanku ke rumah untuk diobati. Ia meniup luka di jariku ketika aku menangis tersedu dan kesakitan. Setiap kali SPP sekolah mulai datang menagih utangnya, setiap kali buku-buku pelajaran meneriakkan diri untuk dibeli, setiap kali itu juga ia menyediakan semua biaya yang kuperlukan. Ia memang memukuli ketika aku kecil, ketika aku mulai nakal dan tak terkendali. Ketika aku memberontak dan tak mau mengikuti apa yang ia mau. Agar aku tahu apa yang boleh dan yang tidak boleh kulakukan. Aku ingat ketika aku mengalami kecelakaan sewaktu SMA. Ia hanya diam, tak berkata apa-apa. Ia tidak menyalahkanku atas motor yang telah rusak parah. Ia mau mengantarkanku ke sekolah ketika hujan sedang deras-derasnya. Menggunakan jas hujan lusuh kesukaannya. Menungguku dengan setia di gerbang sekolah. Ia bahkan hanya diam ketika aku malu dengannya, dengan kekolotannya, dengan kerapuhannya. Ketika aku sama sekali tak bangga terhadapnya, dan mengharapkan orang lain menggantikannya. Ketika aku menatap wajahnya kala itu, melalui jendela mobil itu, entah dari mana rasa itu, tetapi aku sungguh merasakan kasih sayangnya. Aku menyadari betapa ia mengasihiku. Aku menyadari segala “kesunyian” dan ketidakacuhan yang ia berikan hanyalah karena ia tidak tahu bagaimana bersikap dan menyatakan kasih sayangnya kepada seorang remaja putri yang beranjak dewasa. Ketika aku pergi, aku melihat wajahnya yang sayu seperti kehilangan sesuatu yang berharga di dalam hidupnya. Ia mengasihiku, dan aku mengtahuinya lewat tatapan matanya. Pria Silver Queen itu mengasihiku. Pria yang kini berusia 50-an tahun, yang sedang menikmati usia senjanya. Pria rapuh dan pria yang penuh dengan kesunyian itu. Dalam sunyi engkau menyayangiku. Engkau masih sama seperti pria yang mengembangkan senyuman termanis sewaktu memberikanku sebatang Silver Queen itu. Aku sayang padamu, my Silver Queen man. Engkaulah ayahku satu-satunya di dunia ini. *** ---Arnita Sari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun