Ketika membaca sebuah artikel di kolom opini yang berjudul "Hantu Scopus" (Kompas, 21/2) dan sebuah artikel di tempo.co yang berjudul "Para Dosen Malas, Kemenristekdikti: Penelitian Kita Minim se-ASEAN", saya tergelitik untuk menulis artikel ini dikarenakan banyaknya miskonsepsi dari kalangan akademisi di Indonesia mengenai indeks yang diberikan oleh Scopus beserta reaksi dari para akademisi akan hal tersebut.
Miskonsepsi
Pada awal artikel tersebut, penulis memulai artikel dengan menyampaikan informasi mengenai Peraturan Menteri Nomor 20 tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Kementrian Ristek dan Dikti (Kemenristekdikti). Pada intinya, peraturan ini mengharuskan seorang guru besar untuk menghasilkan tiga karya ilmiah di jurnal internasional atau satu karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi dalam waktu tiga tahun.
Miskonsepsi yang pertama berkaitan dengan pernyataan bahwa basis data Scopus (yang dimiliki penerbit Elsevier) sebagai pengindeks artikel di jurnal ilmiah. Hal ini harus diperjelas bahwa yang diindeks oleh Scopus adalah jurnal ilmiah dan bukan artikel ilmiah. Begitu pula dengan h-index, dimana yang diindeks adalah penulis dari artikel ilmiah.1 Jadi kalau indeks Scopus itu merupakan indeks pada tingkatan jurnal ilimiah, h-index merupakan indeks pada tingkatan penulis artikel ilmiah.
Sebenarnya, selain Scopus ada banyak indeks yang dapat dimiliki sebuah jurnal ilmiah, misalnya: Copernicus, ProQuest. Namun indeks yang diakui oleh Kemenristekdikti sebagai jurnal internasional bereputasi hanya jurnal ilimiah yang terindeks pada Scopus, Thomson Reuters (indeks yang dikeluarkan lebih dikenal dengan nama SSCI -- Social Science Citation Index) dan Microsoft Academic Search. Â Selain itu Kemenristekdikti mensyaratkan jurnal ilmiah tersebut paling tidak berada di Q32, dimana sistem alokasi kuartil dari Q1 (paling tinggi) sampai dengan Q4 (paling rendah) ini dilakukan oleh SCImago Journal & Country Rank (SJR).
Miskonsepsi yang kedua berkaitan dengan pernyataan bahwa lembaga pemeringkat dunia, seperti QS, melakukan pemeringkatan dengan syarat khusus tak tertulis. Hal ini memang tidak sepenuhnya tidak benar, namun juga tidak sepenuhnya tepat. Tetapi, mari kita berpikir secara objektif sebagai akademisi. Metode pengukuran yang dilakukan QS menitikberatkan pada lima indikator, dimana dua indikator yang relevan dengan pembahasan artikel ini adalah "academic reputation (40%)" dan "citations per faculty (20%)"3. Pembahasan saya yang pertama mengenai "citations per faculty".Â
QS dalam hal ini mengambil informasi yang berkaitan indikator tersebut dengan menggunakan Scopus. Salahkah Kemenristekdikti membuat peraturan di atas jika sebagian besar dana hibah riset yang dikeluarkan diperoleh para guru besar? Indikator "academic reputation" ini sendiri berkaitan dengan riset yang diperoleh dari indikator yang telah dibahas sebelumnya. Pada indikator ini, tentunya seorang akademisi akan menyebut universitas yang menjadi tempat dimana akademisi yang dirujuk menetap. Jadi, menurut saya memang riset dan publikasi menjadi ujung tombak bagi sebuah universitas untuk memperoleh peringkat yang baik.
Miskonsepsi yang ketiga berkaitan dengan target yang ditetapkan oleh Kemenristekdikti di atas. Banyak akademisi yang merasa bahwa hal ini sangat tidak masuk diakal dan menjadi sebuah momok. Hal ini tentunya tidak sepenuhnya benar karena Kemenristekdikti hanya meminta satu karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi pada tingkatan guru besar.Â
Seorang guru besar sudah sewajarnya dan saya pribadi merasa bahwa para guru besar sangat mampu untuk melakukan hal ini. Bukankah seseorang diberikan jenjang guru besar apabila sudah mencapai kriteria tertentu? Bukankah pada saat seseorang diberikan jenjang guru besar artinya dia telah menjadi ahli di bidangnya dan telah mendapat pengakuan dari para ahli lain dibidangnya?
Miskonsepsi yang keempat masih sangat erat kaitannya dengan miskonsepsi yang ketiga, dimana yang menjadi momok dalam menerbitkan sebuah artikel di jurnal ilmiah yang terindeks Scopus adalah kemampuan menulis dalam berbahasa Inggris. Masih banyak negara-negara lain dimana bahasa Inggris bukan merupakan bahasa ibu, seperti Malaysia dan China. Namun mereka dapat menerbitkan karya mereka di jurnal internasional bereputasi. Bahkan data dari Elsevier menyatakan bahwa China merupakan salah satu negara yang sangat pesat perkembangannya baik di dalam jumlah tulisan maupun dalam jumlah sitasi4.
Tinggalkan pesimisme dan tanggalkan skeptisisme