Mohon tunggu...
Arnani Widjanarko
Arnani Widjanarko Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia Bukan Lagi Negara Demokrasi

27 November 2023   21:40 Diperbarui: 27 November 2023   22:04 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: urbanbogor.com 

Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dan proses demokrasi di Indonesia secara umum telah mengalami kemajuan yang sangat signifikan.  Negara demokratis tercermin dari terlindunginya kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berdiskusi secara terbuka. Kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kritik terhadap pemerintah, merupakan pilar penting demokrasi. Karena rakyat memegang kekuasaannya, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat membantu mengawasi, memberi peringatan, dan menyarankan cara pemerintah beroperasi.

 Apakah Indonesia sendiri masih negara demokrsi walaupun sudah merampas hak kebebasan berekspresi dari masyarakatnya? Merampas kebebasan berekspresi, berpendapat, berpikir, berserikat, dan menyampaikan kritik di muka umum terhadap pemerintah akan menyebabkan demokrasi goyah atau bahkan lumpuh. Pembungkaman terhadap kritik masyarakat belakangan ini semakin mengemuka ketika masyarakat dihadapkan pada praktik kriminalisasi kritik dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik.  Hal ini tentu saja menimbulkan opini dan pertanyaan masyarakat apakah Indonesia sekarang lebih otoriter dan anti kritik daripada di masa Orde Baru?

Jika kita lihat dari kasus Haris Azhar dan rekannya Fatia yang divonis masing-masing 4 tahun penjara dan 3,5 tahun penjara.  Keduanya dinilai bersalah karena mencemarkan nama baik Luhut.  Awal dari kasus ini yaitu dengan adanya podcast yang berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Hubungan OPS Ekonomi-Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada!! NgeHAMtam" video podcast ini ditemukan di channel YouTube.  Haris dan Fatia menyebut Luhut "bermain" dalam bisnis pertambangan di Intan Jaya, Papua, dalam video tersebut.   Inilah yang mendorong Luhut untuk menggugat  Haris dan Fatia atas dasar pencemaran nama baik. Mengapa mereka harus mendapatkan gugatan hanya kerena menyampaikan pikiran mereka mengenai hubungan ekonomi militer di Intan Jaya? Bukankah kita semua berhak untuk berpikir kritis?


Lalu sama halnya dengan kasus Bima Yudho Saputro yang viral di media sosial beberapa bulan lalu, yang dimana ia mengkritik pemerintah Provinsi Lampung dalam menangani permasalahan sosial di daerahnya.  Usai menyuarakan kritiknya, ia mendapat ancaman yang ditujukan kepada keluarganya di Lampung setelah videonya yang mengkritik pemerintah Lampung itu menjadi viral.  Ia juga mengatakan, polisi datang ke kantor ibu dan ayahnya yang seorang pegawai negeri disebut mendapatkan ancaman.  Sehingga pada akhirnya kasus ini mendapat banyak perhatian dan pertanyaan dari masyarakat mengenai kebebasan berekspresi di Indonesia. Mengapa kita semua dibungkam ketika menyampaikan opini dan keritik kepada pemerintah? Bukankah kita semua berhak untuk bersuara dan juga menyampaikan opini?


Sumber: tribunnews.com
Sumber: tribunnews.com

Semua warga negara mempunyai kebebasan untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa.  Kita harus melawan pemerintah dan siapa pun yang berkuasa jika mereka menggunakan hukum untuk membungkam kritik.  Diperlukan kritik, tetapi kritik juga perlu memahami prinsip hukum, karena pada dasarnya kritik jelas berbeda dengan melecehkan.

Seperti yang ditunjukkan pada Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar  tahun 1945, yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Selain itu, Pasal 28 menyatakan bahwa "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang ditetapkan dengan undang-undang."

Kalau kita lihat kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi.  Negara wajib memenuhi dan melindungi hak tersebut, karena ketentuan mengenai kebebasan berpendapat telah diatur dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945. Serta jaminan dan perlindungan kebebasan berpendapat ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.  Kebebasan berpendapat tertuang dalam Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 25.

Oleh karena itu, negara harus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyuarakan pendapat mereka tentang pemerintahan saat ini. Kritik pada dasarnya harus bersifat konstruktif, bukan merusak.  Meskipun demikian, Undang-Undang  ITE seringkali menghambat kebebasan berbicara dan mengkritik.  Kritik, ancaman, dan radikalisme itu  berbeda.  Sangat penting untuk memberikan kritik karena masalah sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat.

Kasus Fatia dan Luhut serta kasus Bima mengingatkan kita akan pentingnya perlindungan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.  Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak tersebut terlindungi dengan baik tanpa adanya campur tangan yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Agar dapat membangun pemerintahan yang baik dan adil, maka masyarakat harus diizinkan untuk menyampaikan kritik, saran, dan masukannya kepada pemerintah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun