Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dendam

15 November 2014   00:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:48 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Suasana haru masih menyelimuti pemakaman Rania . Begitu banyak tetesan air mata yang mengalir di sudut mata orang - orang yang melayat di sana . Tapi tak terdengar lagi suara tangisan dari orang tua Rania , seperti mereka sendiri sudah lelah menangisi kepergian anak mereka yang takkan kembali hidup lagi . Banyak bunga - bunga beraneka warna bertaburan di atas tanah makam Rania . Semua menaburkan bunga tak terkecuali Rangga dan teman - temannya .

Satu per satu orang mulai pergi meninggalkan pemakaman Rania . Dari tetangga nya teman - temannya sampai dengan orang tuanya . Mereka takkan tahu bahwa mereka sedang diawasi oleh sepasang mata di balik pohon . Sepertinya sosok misterius berjaket hitam itu , ingin menunggu sampai s'mua orang sudah pergi dari sana . Dilihatnya tidak ada lagi orang di sana , dengan mengendap - endap dia keluar dari balik pohon tersebut . Yakin tak ada lagi orang yang melihatnya , dia langsung berjalan menuju tanah pemakaman itu . Tiba di depan makam Rania , tak terdengar sepatah kata yang diucapkannya . Hanya tetesan air mata yang jatuh di batu nisannya . Dia duduk bersimpuh , menangis sambil memeluk batu nisan . Hanya dia dan keheningan yang mencekam menemaninya sepanjang dirinya menangis di depan makam seorang wanita . Mungkin wanita itu sangat berarti bagi dirinya , tak mungkin dia menangis sepilu itu .

" Rania ... kepergian dirimu tak bisa kuikhlaskan begitu saja ... akan kubalas semua kepada mereka yang mengorbankan nyawamu secara sia - sia ... agar mereka tahu betapa tersiksanya dirimu ... "

Setelah dia berkata , kepalanya setengah menengadah , tatapan matanya dingin dan matanya memerah kini api dendam mulai membara di hatinya .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun