Mohon tunggu...
Arnada Putri Exta Rahmadani
Arnada Putri Exta Rahmadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Hobi memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kepercayaan Masyarakat Jawa terhadap Budaya Sesajen

25 April 2024   16:00 Diperbarui: 25 April 2024   16:03 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai masyarakat Indonesia, kita tidak terlepas dari kentalnya darah kebudayaan sebagai buah pikiran manusia yang terbentuk dari hasil interaksi melalui segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Kebudayaan dapat terbentuk melalui perpaduan antara kehidupan masyarakat sosial dan keagamaan. Kebudayaan diwariskan melalui rantai generasi yang akan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Seiring berjalannya waktu, islam datang ke Indonesia membuat kebudayaan nenek moyang Hindu-Budha bercampur, berakulturasi, dan berasimilasi dengan kebudayaan Islam menjadi kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang dibentuk salah satunya ialah budaya sesajen yang pada dasarnya merupakan kebudayaan yang dimiliki oleh agama Hindu-Budha.

Sesajen berasal dari istilah Sastra Jen Rahayu Ning Rat Pangruwat Ing Diyu yang berarti “Yang Maha Kuasa untuk dimengerti serta dipahami agar dapat jadi penerang, senantiasa selamat dan sejahtera bagi kehidupan di jagad raya, memusnahkan segala kebingungan atau keraguan”. Dapat ditafsirkan sebagai arti lain yaitu ilmu pengetahuan di alam yang harus dimengerti dan dipahami agar memperoleh kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan di alam semesta, serta terhindar dari keraguan dan kebingungan (Lucky Hendrawan, 2015). Dalam kebudayaan Jawa, sesajen dipergunakan dalam acara atau kegiatan tertentu, dengan isi sesajen yang bermacam macam pula tergantung maksud dan tujuan dalam penggunaannya. Salah satu sesajen yang ditampilkan adalah Muli Luhur.

            Muli Luhur disajikan dengan berbagai macam isi didalamnya, misalnya wedang kopi, teh, air putih, nasi beserta lauk pauk, jajanan pasar, rokok, dan sebagainya. Sesajen Muli Luhur disajikan dalam satu wadah tertentu sesuai dengan waktu yang ditentukan pula, biasanya pada saat memperingati 7 hari setelah orang meninggal dunia, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa dengan menggunakan sesajen ini, leluhur yang telah meninggal dunia akan mengunjungi keluarga yang masih hidup. Masyarakat Jawa juga percaya bahwasanya leluhur nenek moyang akan mencicipi sesajen yang telah disiapkan berdasarkan kebiasaan ketika leluhur masih hidup di dunia. Maka dari itu, kepercayaan melekat kental pada setiap masyarakat Jawa bahwa sesajen yang disiapkan akan berkurang dalam segi volume, dan akan berubah ukuran dalam segi bentuk.

            Akan tetapi, dalam sudut pandang sains mematahkan kepercayaan masyarakat Jawa yang mempercayai berkurangnya volume dan berubahnya bentuk sesajen ini. Umumnya, perubahan volume pada benda cair (air putih, wedang kopi, dan teh) yang disajikan diatas meja jika dibiarkan selama beberapa hari akan mengalami penguapan. Dimana dalam kondisi terbuka, air akan terus terpapar udara yang kering dan mengakibatkan penguapan air dalam gelas secara perlahan. Penguapan ini yang akan membuat air berkurang volume dan meninggalkan endapan mineral atau zat terlarut lainnya. Selain itu, kue apem atau roti yang disajikan juga ditambahkan ragi sebagai fermentasi pada proses pembuatannya. Ini juga menjadi salah satu alasan terjadinya perubahan bentuk pada roti yang semula disajikan besar dan berubah menjadi kecil. Ragi yang dicampurkan di dalamnya semakin lama semakin tidak lagi berfungsi.

Tradisi masyarakat akan pemberian sesajen terhadap arwah leluhur bukan hanya sebagai kepercayaan saja, sesajen ini telah menjadi ritual kebudayaan yang tidak asing lagi untuk dilakukan. Orang-orang Jawa yang membuat sesajen sebenarnya dengan tujuan yang tidak lain sebagai sarana berdo’a dan meminta kepada Tuhan dengan maksud tertentu. Selain itu, sesajen digunakan sebagai bentuk rasa syukur para pelaku (keluarga yang memiliki hajat) kepada Sang Pencipta. Tatapi, hal inilah yang dianggap musyrik atau menyekutukan Tuhan pada sebagian orang. Terlepas dari anggapan orang lain, orang-orang yang sampai saat ini masih melaksanakan tradisi sesajen Muli Luhur pada peringatan hari hari tertentu beranggapan bahwa sesajen itu bukanlah sesuatu yang musrik atau menyekutukan Tuhan. Sesajen tidak dianggap buruk oleh penggunanya, karena sesajen ini merupakan sebuah warisan budaya leluhur nenek moyang yang wajib dilestarikan dan diturunkan kepada penerus budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun