Potret media di era orde baru
Orde baru bangkit sebagai puncak kemenangan atas rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 dimana kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap serangan golongan PKI. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal “pembenahan” kehidupan nasional, pembinaan dibidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 1966.
Awal masa orde baru, Soeharto menjanjikan adanya kebebasan pers melalui Undang-Undang Pokok Pers Nomor 11 Tahun 1966. Nyatanya, banyak peristiwa yang membuktikan bahwa justru pada masa orde baru kebebasan pers sangat dibatasi bahkan dirampas. Ketika ditelusuri lebih lanjut mengenai pasal-pasal yang terkandung di dalamnya justru banyak hal yang bertentangan dengan kebebasan pers yang dijanjikan. Salah satu hal yang tidak wajar adalah adanya pasal yang berlawanan, misalnya dalam Pasal 5 Undang-undang No.11 Tahun 1966, disebutkan “Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan”. Namun pada pasal 20 ayat 1 dikatakan “Untuk menerbitkan pers diperlukan Surat Izin Terbit”.
Undang-undang No.11 Tahun 1966 ini kemudian diganti dengan Undang-undang No.21 Tahun 1982 tentang Surat Izin Usaha Percetakan dan Penerbitan (SIUPP), tetapi tidak ada perubahan secara substansial. Kebebasan pers tetap dikontrol oleh pemerintah melalui surat izin terbit yang semakin diperkuat melalui SIUPP. Bahkan surat izin terbit ini menjadi salah satu ladang korupsi bagi pemerintah karena banyaknya permintaan namun begitu sulit mendapatkan izin Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah.
Pada era Soeharto, pers dinyatakan sebagai salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Dari kenyataan ini terlihat bahwa pers Indonesia tidak mempunyai kebebasan karena pers harus mendukung program pemerintah Orde Baru. Pers sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang dapat ditafsirkan bertentangan dengan program pemerintah Orde baru. Tanggung jawab pers bukan pada masyarakat melainkan penguasa Orde Baru. Pemerintah Orde Baru menganggap pers yang bebas akan mengganggu stabilitas negara, keamanan dan kepentingan umum, sehingga laju kebebasannya dikontrol dengan ketat. Maka lahirlah perlakuan represif negara terhadap pers sepanjang sejarah Orde Baru.
Orientasi dan Posisi Pers sangat dipengaruhi oleh dominasi peran pemerintah dalam mengontrol kehidupan pers. Diperlukan kepandaian dalam mengelola manajemen administrasi perusahaan pers agar dapat bertahan di tengah sejumlah kebijakan pemerintah terhadap pers. Orientasi dan posisi pers juga disebabkan oleh peta ideology dan bisnis media masa pada pemerintahan Orde Baru.
Pembredelan pers yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru disebabkan oleh sikap otoriter penguasa terhadap pers dengan membersihkan pers berisfat komunis dan pers yang kritis mengontrol setiap kebijakan pemerintah. Pembredelan pers juga diakibatkan oleh pemberitaan demonstrasi yang dapat mengganggu stabilitas nasional dan ketertiban umum. Kebijakan perundang-undangan yang diterapkan oleh pemerintah dalam mengatur pers digunakan sebagai alat politik dalam membredel pers yang melakukan pemberitaan unsur SARA dan persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah.
Dampak pembredelan pers yaitu terjadinya depolitisasi dan komersialisasi pers serta kemunduran hubungan antara pers dan pemerintah. Delik pers diterapkan untuk memberi sanksi terhadap pers yang melanggar ketentuan pers. Dampak lainnya yaitu terjadinya krisis informasi akibat sejumlah pers kritis dibredel selama masa Orde Baru. Selain itu pasca pembredelan muncul teror-teror terhadap pers berupa peringatan, ancaman, pemukulan, penyiksaan, sanksi, penangkapan dan pembunuhan kepada wartawan maupun karyawan pers. Oleh sebab itumuncul gerakan-gerakan protes akibat banyaknya pembredelan pers oleh kesewenangan pemerintah.
Dalam buku Perkembangan Pers di Indonesia (2010) karya Akhmad Efendi, dijelaskan bahwa pada masa orde baru, segala penerbitan pers berada dalam pengawasan pemerintah, yaitu melalui Departemen Penerangan. Apabila tetap ingin hidup, maka pers harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintah orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasannya. Sehingga pers tidak bisa menjalankan fungsinya yang sesungguhnya, yaitu mengawasi kinerja pemerintah dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Penekanan terhadap pers ini berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah orde baru.