Fungsi jejaring sosial twitter sejauh ini di Indonesia adalah tempat bernarsis ria, promosi diri dalam rangka menaikkan personal branding, membicarakan sukses orang lain, mengutip pernyataan orang terkenal dan sesekali menitipkan joke tentang penampilan fisik orang lain. Pemilik akun @BilanganFu bahkan pernah berkicau tentang keheranannya mengapa Bang Ical a.k.a Aburizal Bakrie tidak pernah berpikir untuk menggunakan behel (kawat gigi), padahal uangnya banyak. Sah? Sah!
Dan twitter seperti juga jejaring sosial lain, di negeri ini hanya dipakai untuk kepentingan ke-aku-an. Bahwa ada akun yang mengkhususkan diri mencermati perkembangan bangsa ini dan menuliskan kritik pedas, jumlahnya tidak banyak. Bahwa pernah ada gerakan sporadis mendukung orang-orang tertentu yang dianiaya, itu juga tanpa niat yang kuat. Hanya sampai pada membentuk forum di dunia maya lalu selesai dan bahkan tidak sempat menjadi isu besar. Media-media mainstream juga enggan mengutip gerakan sosial di jejaring sosial secara serius.
Ketika orang bercerita banyak tentang dirinya sendiri di media sosial, hal tersebut jelas tidak berbahaya secara kebangsaan. Kalau toh berbahaya, mungkin hanya untuk dirinya sendiri. Misalnya mentweet kicauan yang mengundang pelaku kejahatan mampir di rumahnya, seperti: Sendiri di rumah, mana kompleks lagi sepi, huffft...! #kicaugalau. Itu berbahaya untuk dirinya sendiri dan negara tidak harus menyensor kicauan personal seperti itu. Pemilik akunlah yang harus lebih berhati-hati berkicau untuk keselamatannya sendiri.
Artinya, sepanjang pengguna twitter masih lebih sering berkicau untuk hal-hal personal, maka sensor oleh negara menjadi tidak relevan untuk dipikirkan bangsa ini. Tentu saja berbeda kasusnya dengan gerakan sosial di Timur Tengah beberapa waktu silam yang akhirnya menjadi chaos yang besar. Mereka bergerak secara bersama setelah sebelumnya menggunakan twitter sebagai media diskusi tentang situasi bangsa; twitter dan jejaring sosial lainnya dipakai sebagai tempat berdiskusi. Para pengguna jejaring sosial di kawasan itu sadar betul pengaruh twitter untuk perubahan. Dan kita? Sorry to say... masih bicara tentang galau, tentang puziiiing akhhh, tentang enaknya massage atau tentang potongan rambut dan sepatu yang baru, atau tentang berdagang.
Masyarakat menengah pengguna twitter di Indonesia adalah masyarakat yang di hidupnya sehari-hari mengejar kenyamanan personal. Biar kata ada banyak kasus korupsi, sepanjang saya masih bisa terima gaji tanpa dipotong, saya nyaman-nyaman saja. Apa urusan saya dengan Gayus? Toh saya masih bisa berdagang dan pembelinya semakin banyak :-) Maka, twitter hanyalah soal eksistensi personal dan apa urusan negara dengan ruang personal itu? Mengatur cara orang beragama saja sebenarnya sudah salah :-)
Jika misalnya negara berniat melakukan sensor, maka dia hanya akan kebingungan dengan regulasi. Apa yang harus disensor? Lembaga apa yang akan dibentuk untuk melakukan tugas itu? Lalu undang-undangnya? Misalkan ada kicauan yang berisi hinaan atau ejekan tentang orang lain, apa iya harus dibentuk regulasi yang baru sedangkan negara ini sudah punya aturan tentang pencemaran nama baik. Itu kira-kira sebagian alasan mengapa kemungkinan melakukan sensor menjadi tidak mungkin dilakukan, selain bahwa Tifatul Sembiring yang berwenang tentang hal ini juga senang berkicau dengan aneh di twitter.
Kalau misalnya ditemukan alasan yang tepat untuk melakukan sensor, katakanlah agar para pemilik akun menjadi lebih terdidik dalam berkicau, ah... itu seperti mengada-ada. Mata acara televisi saja tidak disensor dengan benar padahal itu media massa, eh koq malah repot melakukan penyaringan terhadap ruang personal. Ya, sensor terhadap twitter seperti peluang yang ditawarkan oleh perusahaan jejaring sosial besar itu menjadi tidak mungkin dilakukan, karena di negeri ini twitter tidak berbahaya buat negara.
Ya... apa berbahayanya buat negara kalau saya mentweet kicauan ini: Bapak kamu pengusaha meubel ya? Koq tau? Soalnya kamu telah menggergaji hatiku #gombalituburuk. Begitulah... kemungkinan sensor menjadi penting untuk dipertimbangkan ketika semua pengguna jejaring sosial mengetahui betapa pentingnya menggunakan semua fasilitas dipakai untuk perubahan sosial. Dan jika itu terjadi, kita pasti menolak sensor "^_^/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H