:: buku itu berawal dari tulisan sebaris ::
Apa yang harus dilakukan agar kita bisa menjadi penulis? Pertanyaan itu sering berseliweran dengan kalimat-kalimat berbeda namun bernuansa sama. Banyak orang ingin menulis buku, sangat banyak. Saya tahu itu dari berbagai interaksi di dunia nyata dan maya. Saya juga kerap mengguman pertanyaan yang sama ketika itu, ketika masih remaja dan sudah bercita-cita menjadi penulis. Maka ketika akhir tahun 2011 kemarin buku pertama saya resmi di-launching, sayalah yang mendapat pertanyaan itu. "Min, apa yang kau buat selama ini sehingga bisa menerbitkan buku?" demikian pertanyaan seperti itu sering saya dengar.
Mulailah saya bercerita. Buku Telinga - Sebuah Antologi adalah buku pertama saya, berisi sembilan cerpen, dua puisi dan sebuah prosa. Diterbitkan secara indie, bekerja sama dengan Leutikaprio Jogjakarta. Sebelum memutuskan untuk menerbitkan buku, yang saya lakukan adalah menulis. Ya... mulai menulis sebaris, menjaga konsistensi, berjuang mengumpulkan cerita tetapi tidak memaksa diri terburu-buru menyelesaikannya. Beristirahat sejenak jika ruang ide tiba-tiba menjadi gelap. Buku ini lahir dari kerja yang panjang. Hampir sepuluh tahun menulis dan saya menikmati nama saya ada di halaman pertama dan ISBN di halaman terakhir.
Sepuluh tahun menulis hanya jadi dua belas cerita? Tentu tidak. Sepanjang waktu itu, saya telah menghasilkan ratusan tulisan atau bahkan ribuan jika menulis status di facebook juga dihitung. Postingan di blog, menulis artikel di koran, menulis reportase untuk majalah dan menyumbang tulisan di blog keroyokan tetap saya lakukan. Tetapi tidak semua yang kita tulis bisa menjadi buku. Butuh benang merah yang kuat di antara sekian banyak tulisan sebelum memutuskan untuk membukukannya. Di sinilah proses diskusi menjadi penting.
Saya lalu melihat-lihat karya saya dalam rendamannya, mengangkatnya kembali kemudian perlahan memilih beberapa di antaranya yang memiliki tautan ide. Dan saya lalu memilih mereka-mereka itu, sembilan cerpen, dua puisi dan sebuah prosa karena berhasil dihubungkan melalui telinga. Kata 'Telinga' berikut fungsinya menjadi tepat untuk roh setiap cerita dalam -rencana- buku itu. Langkah ini selesai, saya telah memilih materi. Dari mereka saya tahu tahun lahir prematurnya. Beberapa lahir di awal 2000-an ketika saya masih menjadi mahasiswa di Malang, beberapa lahir di Ruteng saat saya mulai aktif mengirim tulisan untuk koran regional dan beberapa lahir di pertengahan 2011.
Siap dibukukan? Ooops... Long way to go! Saya harus memeriksa 'kesehatan' mereka setelah lama direndam. Saya membaca kembali dengan sabar, lalu melihat betapa di coretan pertama saya meninggalkan lubang menganga pada tubuh cerita-cerita itu. Ah, kasihan... mereka hidup dengan luka itu sekian lama. My bad :-( Ya, itu kesalahan saya dan saya mulai memperbaikinya. Memberi mereka suasana baru, menutup bagian-bagian yang berlubang dan beberapa di antara mereka saya pakaikan baju baru. Ini yang saya sebut editing, memeriksa kelayakan naskah dan baju baru itu adalah perbaikan judul pada beberapa cerita.
Selesai? Hiks... belum saudara-saudariku. Mereka tak bisa kulahirkan sendiri dengan sempurna. Kupanggil beberapa sahabat dan orang-orang tercinta, memaksa mereka melihat teliti 'embrio' itu lalu meminta mereka mengusulkan perbaikan. Langkah ini penting agar lebih nyaman secara politik, sosial dan ekonomi, agar mereka tidak lahir cacat dan menuai cemooh. Bahwa suatu kelak saat mereka lahir mereka dipandang sinis, minimal jumlahnya tidak sangat banyak dan mereka bisa bertahan hidup. Sebut saja proses ini adalah Public Hearing, seperti istilah keren bapak ibu kita di gedung dewan itu. Mengapa ini penting? Karena saya melihat ini penting :-)
Hampir selesai! Langkah selanjutnya adalah menentukan bagaimana menerbitkannya. Penerbit buku mainstream belum sempat jadi pertimbangan untuk dipilih, dengan beberapa alasan; saya adalah penulis pemula, ini adalah kumpulan cerpen, dan saya tidak punya jaringan. Yang saya dengar dari beberapa sahabat, major publisher akan lebih memilih penulis yang 'sudah punya nama', menerbitkan karya sastra bernama novel dan kita harus punya koneksi di penerbitan itu.
Demikianlah, saya lalu memutuskan untuk mengajak Leutikaprio bekerja sama. Penerbit ini punya tagline: Your Self Publishing. Artinya? Saya menerbitkannya sendiri, dengan modal super murah dan Leutikaprio melakukannya dengan cara yang mereka tahu, termasuk mengurus ISBN. Leutikaprio-pun menjadi klinik persalinan 12 bersaudara itu yang kemudian saya beri nama Telinga - Sebuah Antologi. 31 November 2011, Telinga lahir dan benar-benar cakep. Kini dia beranjak besar, telah singgah dari rumah ke rumah, dari tempat tidur ke tempat tidur dan tanpa malu-malu bercengkerama dengan pembacanya. Saya menyaksikannya dari jauh, berharap mereka baik-baik saja.
Karena ini adalah penerbitan indie, maka Telinga belum sempat nongkrong di toko buku besar. Di Ruteng, dia diijinkan berleha di etalase kecil sebuah toko buku kecil milik seorang sahabat. Selebihnya? Jika ingin memilikinya, Telinga bisa diperoleh di penerbit, karena dia lahir dalam teknologi POD alias Printed On Demand, atau dicetak jika dipesan. Caranya terhitung mudah, karena Leutikaprio sudah membantu kelahiran banyak buku dan mereka tahu bagaimana melakukannya dengan benar.
Untuk para sahabat yang ingin menulis buku, atau yang bertanya pada saya bagaimana menulis buku, saya biasanya menjawab, "Mulailah menulis sebaris saat ini. Merangkai ide, menemukan tautan a.k.a. benang merah antar cerita, merendamnya untuk beberapa saat, mulai memeriksa kembali, mendiskusikannya dengan orang-orang yang anda yakin bisa berpendapat obyektif, memeriksanya kembali, mencari penerbit dan lahirkanlah mereka!"