Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan membagi kisah suksesnya sebagai pemimpin. Ya, kisah sukses karena pria penggemar sepatu kets itu memang sukses. Penguasa media di Jawa Pos Group yang punya JPNN itu, pernah menjadi CEO PLN dan kemudian berhasil menghidupkan kembali kata-kata Kartini; Habis Gelap Terbitlah Terang. Tentang buku biografinya ini, Dahlan dengan santai bilang, "Itu bukan saya yang tulis, tapi sahabat saya Ishadi SK yang adalah orang sukses di industri televisi."
Rendah hati dan tidak 'sok' penting meski telah jadi menteri yang jumlah anak buahnya bejibun, Dahlan Iskan seperti pantas-pantas saja ada di kursi itu siang tadi, di sebuah hall besar dalam satu tayangan program Metro TV yang dipandu Sandrina Malakiano. Mereka sedang membahas tentang kepemimpinan, mengambil sari penting dari praktek kepemimpinan Nabi Muhamad SAW. Ada nara sumber lain tetapi fokus perhatian saya (juga mungkin ratusan orang yang hadir di ruangan itu dan jutaan pemirsa di rumah) adalah Dahlan Iskan.
Tampil dengan baju kemeja putih, celana dari bahan katun dan sepatu kets, Dahlan dengan santai dan santun bertutur tentang apa yang dia buat ketika menjadi pemimpin. "Selama menjadi menteri, saya belum pernah memanggil deputi saya ke ruang kerja saya. Kalau saya butuh, saya akan ke ruangan mereka. O iya, saya juga belum pernah memencet bel di meja saya untuk memanggil bawahan. Kalau berkasnya sudah saya tandatangani, ya saya antar. Hitung-hitung sekalian olahraga," katanya yang disambut dengan pandangan tidak percaya dari Sandrina Malakiano di sampingnya dan saya yang terperangah terpesona di depan layar televisi.
Dahlan Iskan seperti menjungkirbalikkan 'aturan dasar' menjadi pemimpin di negeri ini; bos harus duduk diam dan jika membutuhkan sesuatu tinggal pencet bel. Saya tiba-tiba ingat sebagian besar pemimpin yang pernah saya temui, hmmm... yang Dahlan Iskan buat itu baru saya dengar. Lalu apa itu bisa mengubah bangsa ini?
Bagi Dahlan, budaya (culture) tidak bisa diajarkan. Budaya -di dalamnya termasuk etos kerja- adalah sesuatu yang harus ditulari dengan syarat yang seorang siap menularkan dan yang lain membuka diri untuk ditulari. Dalam kondisi pemimpin ingin menularkan konsep kerja yang dia inginkan kepada bawahannya, maka harus terjalin interaksi yang baik bukan dalam situasi atasan bawahan seperti yang kita jumpai selama ini, tetapi sebagai dua pihak yang saling membutuhkan. Budaya itu bisa ditulari kalau kita -sumber dan penerima- berada pada level yang sama tanpa sekat jabatan.
Begitu cara Dahlan berinteraksi dengan orang-orang di kantornya. Dia tidak menganggap efektif kampanye lewat poster etos kerja di dinding. Baginya, dia harus mampu menjadi tauladan tidak dalam kotbah atau ceramah tetapi dalam sikap. Apakah itu efektif? Mungkin tidak bisa diukur dalam waktu singkat, tetapi Dahlan optimis jika semua pemimpin demikian bersikap, perubahan pasti terjadi, soon or later.
Maka menurut saya bisa ditebak, pada situasi terbalik, jika pemimpin korupsi, situasi itulah yang dia tularkan kepada bawahannya. O iya, Dahlan juga kabarnya tidak mau dipanggil: Pak Menteri. "Nama saya Dahlan," katanya seperti dituturkan seorang sahabatnya. Suatu waktu ketika lebaran, Dahlan meminta para stafnya berbaris dan dia bersama jajaran petinggi kantornya berkeliling memberikan selamat, ini juga baru. Dahlan tidak berkotbah tentang kerendahan hati, tetapi mulai memberi teladan. Soal saya adalah, apa iya kita mau ditulari?
Salam
"^_^/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H