Tulisan ini berawal dari ide untuk penulisan judul skripsi. Disamping itu berdasarkan pengalaman pribadi, ibu saya yang akhirnya memutuskan berhenti berkarir saat melahirkan anak kedua. Tidak lain dan tidak bukan alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dalam pengasuhan anak.
Memang tema ini sudah sangat klasik untuk dibahas, tapi sejauh ini saya belum menemukan solusi aktual untuk memecah permasalahannya. Tentang ASI, diantara kita semua mungkin sudah tahu manfaat besar yag terkandung di dalamnya. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa ASI memiliki berbagai keunggulan yang tidak bisa digantikan dengan susu manapun, bahkan susu formula dengan merek yang sangat terkenal sekali pun. Dalam Islam, perintah untuk menyusui ini telah tercatat sejak 14 abad yang lalu.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS Al-Baqarah [2]:223)
Bagi sebagian orang, pemberian ASI selama dua tahun penuh mungkin tidak menjadi masalah. Tapi bagi sebagian orang lagi yang memiliki banyak keterbatasan, tentu hal ini tidak bisa dilakukan secara optimal dan penuh. Disini kita baru mambahas tentang pemberian ASI yang bisa diimbangi dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Nah, bagaimana untuk pemberian ASI secara eksklusif selama 6 bulan yang pemberiannya tanpa disertai dengan makanan lain, bahkan air putih? Tentu pelaksanaan ini lebih sulit dibandingkan pemberian di atas 6 bulan.
Sebenarnya memang ada beberapa kendala dalam pemberian ASI. Tapi yang menjadi sorotan disini adalah faktor pekerjaan ibu. Ketertarikan saya membahas masalah ini dimulai setelah mempelajari tentang Gender dan Pembangunan, yang pada akhirnya dikaitkan dengan masalah kesehatan.
Guru Besar Dept Gizi Masyarakat IPB, Prof Ali Khomsan pernah menuliskan tentang peranan gender dalam kecukupan pangan. Dan disana disebutkan mengenai istilah "Empat Peran Perempuan" dari laporan Commonwealth Secretariat Engendering Adjusment in the Nineties. Laporan inimenyebutkan bahwa perempuan di seluruh dunia memainkan peran ganda, yaitu sebagai ibu, sebagai pengatur rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar keluarga (family's basic need), sebagai produsen dan kontributor penghasilan keluarga, dan sebagai pengatur organisasi kemasyarakatan yang berdampak pada kesejahteraan sosial. Dan bekerja untuk perempuan memang bukan sesuatu yang wajib, namun apabila kondisi ekonomi belum stabil, biasanya jalan keluarnya adalah dengan membantu mencari nafkah.
Pemberian ASI ekslusif selama enam bulan penuh, terutama di daerah perkotaan memang menjadi fenomena yang cukup langka untuk ditemukan. Biasanya ini terjadi karena faktor kesibukan atau jarak tempuh lokasi. Pada umumnya ibu memberikan makanan pendamping ASI saat masa penyapihan kurang dari enam bulan. Alternatif yang akhirnya dilakukan untuk mempertahankan pemberian ASI ekslusif yaitu menggunakan alat bantu perah ASI, yang nantinya anak akan menghisap melalui dot atau karet. Namun penggunaan alat bantu ini pastinya memiliki beberapa dampak negatif terhadap perkembangan anak. Misalnya, dot karet yang tercemar bakteri. Selain itu hubungan kebatinan antara anak dan ibu intensitasnya akan berkurang. Dan cara ini memang kurang praktis.
Nah, kemudian bagaimana solusi dari permasalahan ini? Banyak yang telah membahas tentang perlunya menyediakan tempat khusus menyusui di beberapa lokasi tempat kerja atau perusahaan. Atau perlu diadakan cuti khusus untuk ibu setelah melahirkan, misalnya cuti untuk ASI eksklusif selama 6 bulan penuh? Sejauh ini memang belum ada peraturan yang bisa dirasa efektif. Ya, mungkin yang bisa dilakukan bagi ibu menyusui sekarang ini adalah membuat strategi untuk memenuhi kebutuhan aNak di awal kelahiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H