Siang tadi sebelum gempa Simeulue (Sumatera) terjadi, sekira pukul 14.30 WIB saya kedatangan seorang tamu yang sama-sama menyukai kultur Smong atau Tsunami Simeulue. Beliau adalah Ibu Rachmalia seorang Dosen Ilmu Keperawatan dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Kedatangan yang istimewa saya anggap bagi diri saya pribadi terhadap sebuah tulisan lama yang berjudul http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/02/tsunami-mentawai-dan-kearifan-smong-simeulue/ yang pernah dimuat di Kompasiana ini bulan November 2010 lalu. Beliau tertarik dan ingin memperdalam prilaku psikologis kultur yang telah tertanam dalam benak masyarakat Simeulue secara turun temurun dan bertahun-tahun lamanya itu. Berdiskusi sekitar setengah jam hingga akhir pembicaraan yang terasa akrab yang membahas seputar budaya smong dari mulai awal terbentuknya tutur tersebut sejak zaman penjajahan Belanda tahun 1907 sampai dengan kejadian 2004 tsunami Aceh yang dahsyat itu. Betapa kearifan smong Simeulue terbukti mampu meminimalisir jumlah korban akibat hantaman gelombang tsunami lalu. Setelah merasa cukup beliau pun pamitan, dan saya pun kembali ke pekerjaan sebagaimana biasa. Tak lama menjelang sekitar 15 menit baru berjalan, gempa Simeulue pun kembali terjadi. Secara eksperiens beliau sendiri akhirnya merasakan secara langsung konsep smong yang diadopsi oleh masyarakat secara massif di Pulau Simeulue tersebut. Konsep budaya smong terpapar jelas dalam pengamatan beliau, reaksi otomatis tanpa perintah spontan hadir dalam masyarakat. Sebagian masyarakat secara naluriah berlari ke pinggir pantai untuk melihat surutnya air sebagai pertanda awal akan terjadinya tsunami. Tatkala air sempat surut sekitar 1 meter kemudian naik kembali +/- 1 meter secara cepat, cukuplah menjadi sebuah pesan alamiah untuk menghindar dari bibir pantai 'SEGERA'..! [caption id="attachment_181348" align="aligncenter" width="352" caption="Gempa Simeulue 2012, sumber: Media Indonesia"][/caption]
Topografi natural Simeulue yang terdiri dari pantai, kemudian lapangan yang cukup luas sebagai lingkungan tempat tinggal dan perbukitan yang melingkari sepanjang pulau seolah menjadi tempat yang ideal sebuah evakuasi massal serentak di seluruh pulau.
Hiruk pikuk dan rentetan pesan evakuasi massal tanpa komando untuk mencari tempat yang lebih tinggi dan pengendalian diri durante dan pasca panik yang adaptatif telah melahirkan pujian tulus dari Ibu dosen tamatan Magister Prince of Songkla University Thailand ini: "Di Banda Aceh mungkin saat ini sebagian besar masyarakatnya masih mengungsi, sementara di Simeulue setelah tsunami tidak terjadi, masyarakat kembali beraktifitas sebagaimana biasa".
Begitulah hidup di sebuah daerah bencana, kita tak kuasa menolak kekuasaan Ilahiah dan kita jua tak cukup tahan untuk harus larut dalam ketakutan emosional yang tak berujung, yang hanya bisa kita lakukan adalah bagaimana kita bisa mengenali sebuah bencana dan hidup berdampingan dengan bencana sepanjang hayat di kandung badan.
Selamat jalan Ibu Rachmalia, selamat sampai kembali di Banda Aceh. Semoga perjalanan Ferry Simeulue-Labuahan Haji malam ini dalam keadaan selamat tanpa hambatan suatu apapun. Semoga pengalaman gempa tadi semakin membuat kita arif dalam menyikapi sebuah bencana.
Alahae Simeulue (Aduhai Simeulue)
Lit-lit suluh-suluh mo (Kilat sebagai obor mu)
Linon uwak-uwak mo (Gempa ayunan mu)
Smong rumek-rumek mo (Tsunami air mandi mu)...
Sinabang, 11 April 2012 pasca bencana gempa Simeulue 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H