Skeptis. Mungkin hanya itu alasan saya menulis artikel ini. Pemikiran yang sebenarnya layak untuk dipikirkan, sebelum kita larut semakin jauh dalam pemberitaan media yang (menurut saya) semakin semena-mena.
Kita semua pasti sudah tahu tentang kasus Century bukan? Bagaimana mungkin tidak tahu, jika hampir semua media massa di negeri ini, dipenuhi dengan berita kasus tersebut selama berbulan-bulan.
Namun yang menjadi pembahasan saya di sini bukanlah pada isi beritanya. Tapi alasan dan motif pemberitaan tersebut. Saya sedikit terusik dengan pemberitaan yang terus menerus, baik berita headline, berita pagi, siang, sore, malam, diskusi, sampai acara live tanpa iklan! Wow. Tidakkah wajar jika kita berpikir, darimana keuntungan stasiun TV tersebut, padahal biaya untuk siaran live itu tidak murah? (tanya kenapa? :P )
Beranjak dari situ, saya mulai menelisik asal muasal pemberitaan Bank Century. Hasil dari googling sana sini, sepertinya berita Century mulai “berkobar” sejak Pemilu 2009 lalu. Setelah Pemilu dimenangkan oleh SBY-Boediono, berita Century mulai menempati rating tertinggi di media massa Indonesia. Anggapan aliran dana Century digunakan untuk kampanye hingga akhirnya bisa menang 1 putaran, terekspos ke media.
Sejak itu, guliran bola semakin kencang. Pemberitaan terus menerus di media massa, menarik perhatian berbagai pihak, termasuk anggota DPR dan para pengamat politik. Berbagai diskusi dilakukan, dan fakta-fakta baru mulai terkuak. Pansus dibentuk. Boediono dan Sri Mulyani menjadi target operasi pihak-pihak tertentu, hingga akhirnya membentuk opini publik tersebut.
Kasus penggunaan media untuk membentuk opini publik sudah seringkali terjadi. Biasanya oknumnya sama sih. :) Misalnya pemberitaan tentang Prita. Atau pemberitaan tentang renovasi rumah anggota DPR. Atau berita tentang Michael Jackson yang hingga akhir hayatnya tidak pernah terbukti mengidap phedophil. Atau tentang kasus Watergate-nya Presiden Nixon.
Lihatlah bagaimana ketika pemberitaan jalan rusak di Jakarta menjadi headline, dan semua media massa ikut mengangkat masalah ini. Lihat juga bagaimana ketika ada TKI mendapatkan penganiayaan di luar negri, dan semua media massa ikut mengangkat kasus ini.
Mungkin inilah wujud nyata dari teori Agenda Setting (Agenda-Setting theory on Wikipedia), di mana media massa memiliki kekuatan yang sangat besar terhadap pembentukan “apa yang dianggap penting” saat ini. Di sinilah kemandirian dan ke-independen-an sebuah media massa diuji. Apakah dapat mewakili masyarakat sebagai sebuah media cerdas yang mengungkapkan banyak kasus penting demi kemajuan bangsa, atau justru menjadi sebuah alat politik sang pemilik (dan pihak-pihak tertentu) demi kepentingan tertentu.
Tentu kita pernah melihat bagaimana sebuah stasiun televisi bisa menayangkan pidato sang pemilik yang juga duduk di posisi tinggi di sebuah parpol, full dan tanpa terputus. Sementara keterangan dari seorang menteri, hanya sepotong saja. Atau bagaimana sebuah media massa berusaha mendoktrin masyarakat agar menyebut Lumpur Lapindo sebagai LUSI (Lumpur Sidoarjo), meskipun ternyata tidak berhasil.
Itu juga yang (mungkin) terjadi saat ini. Ketika rakyat terus menerus dicekoki dengan pemberitaan Century, membuat persepsi bahwa yang “penting saat ini” adalah kasus Century, hingga semua tenaga dan pemikiran kita mengarah ke sana. Hingga dibentuk Pansus. Hingga ada live “pemeriksaan” di DPR, diskusi panel dan lain-lain, bahkan hingga mengarahkan masyarakat untuk melakukan penghakiman pada pihak yang salah dan yang benar.
Saya tidak membela siapapun, hanya saja saya sangat menyayangkan tenaga dan pikiran rakyat, harus “dicemari” dengan kasus yang sebetulnya menurut saya masih kalah penting dengan berbagai masalah lain yang harus diselesaikan. Kasus BLBI, masalah korupsi dimana-mana, masalah-masalah anggota DPR yang “terhormat”, masalah Ujian Nasional, masalah TKI, yang justru menjadi teralihkan ke kasus Century.