Mohon tunggu...
Armei Bee
Armei Bee Mohon Tunggu... -

Penulis roman, thriller dan horor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Stroberi Sweet - Bab 2 - 2

1 Juni 2012   09:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:31 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sebelumnya

Malam waktunya istirahat. Ruang apartemen peserta audisi menyediakan banyak hal untuk bersantai. Lihat saja, sebuah home theater dengan layar LED 3D 65 inchi menempel di dinding yang berseberangan dengan pintu masuk ruangan. Di depan layar itu terdapat sofa berwarna biru samudra yang cukup untuk duduk sepuluh orang. Film Breaking Down dari saluran TV berbayar tampak sedang diputar. Di pojok kanan ada proyektor dan layar yang bisa dipakai untuk bermain game, sayang tidak ada yang berselera menikmati semua itu.

Ini sudah minggu kedua. Sepertinya peringatan Cok Huda tadi siang membekas betul di hati mereka hingga malam yang seharusnya dipakai untuk bersantai malah mereka gunakan untuk berlatih. Mega, gadis Surabaya yang tadi siang dikritik pedas suaranya, kini tampak masih melatih vokalnya. Veronica masih sibuk melatih gerak tarinya, sedangkan Dewi terlihat sedang menghafal syair lagu. Tak ada mau jadi yang terusir minggu ini. Semuanya masih sibuk berlatih kecuali satu orang—Helen.

Helen sejak jam delapan sudah mendarat di kasurnya.

“Wi, gue ngga enak body nih. Mau tidur duluan ya,” katanya pada Dewi yang masih asik menghapal lirik.

Dewi cuma menjawab singkat “Oke”.

Di tengah kesibukan gadis-gadis jelita itu, tiba-tiba lampu apartemen mati, suara jeritan terdengar, lalu disusul suara berdebum dari arah kamar.

Ketika satu menit kemudian lampu menyala mereka semua terdiam. Ada suara nyanyian tak dikenal merambat di udara. Gadis-gadis yang sedang sibuk di living room itu saling berpandangan.

“Siapa yang nyanyi? Lagunya bikin merinding gini?” tanya Sherly.

Mendegar pertanyaan itu dan memikirkan kemungkinannya, anak-anak yang lain merapat ke Sherly.

“Dari kamar tuh, liat gih!” kata Dewi.

“Enak aja nyuruh-nyuruh, lu aja yang liat. Kayanya dari kamar lu tuh!” kata Sherly

“Nggak, ah,” balas Dewi, ia mengoyang-goyangkan badannya seperti orang kedinginan. Dewi masih teringat kejadian kemarin.

Nyanyian itu semakin jelas. Lembut seperti memanggil para lelembut. Persis seperti yang dinyanyikan para pesinden di film-film . . . horor!

Berhubung tidak ada yang berani sendirian memeriksa, mereka akhirnya memutuskan bergerombol mendatangi asal suara. Mereka bergerak ke kamar dan mendapati suara itu berasal dari kamar yang ditempati Helen dan Dewi.

Di depan pintu, Sherly yang paling berani dan memang telah secara tidak langsung di daulat memimpin penyelidikan tak resmi ini, memandang ke arah Dewi. Sherly memberi tanda dengan gerakan kepala agar Dewi membuka pintu, namun Dewi menggeleng sambil mundur ke belakang.

Sambil menghela napas Sherly perlahan mendorong pintu kamar. Perlahan pintu bergeser dan begitu terbuka sempurna anak-anak itu pada tercengang.

Mereka melihat Helen sedang berbaring di lantai. Sepertinya suara berdebum saat lampu mati tadi akibat jatuhnya Helen dari tempat tidur. Anehnya Helen tidak terbangun. Ia masih memejamkan mata sambil berkomat-kamit. Helen bernyanyi atau tepatnya nyinden!

Melihat hal itu, Dewi yang tadinya sangat ketakutan segera berlari ke arah Helen.

“Len, bangun Len!” teriaknya sambil mengguncang-guncang tubuh Helen.

“Bangun, Len!” Sherly ikutan berteriak.

Namun Helen tetap bersenandung. Ketika akhirnya lagu yang dinyanyikannya selesai, Helen membuka mata dan menatap Sherly serta Dewi tatapan menyelidik, seolah-olah ia tidak pernah bertemu dengan kedua orang itu. Pandangan itu, pandangan permusuhan.

Dewi mundur namun Helen akhirnya menutup mata dan kembali tertidur.

“Bangun, Len!” Sherly mengguncang tubuh Helen yang langsing.

Helen menggerakkan kepalanya lalu membuka mata. Matanya yang bulat dan besar kemudian memicing karena cahaya lampu. Sejenak kemudian dia bangkit dan duduk.

“Loh, ngapain kalian?” kata Helen sambil mengucek mata. “Kenapa gue ada di bawah?”

Para abg itu saling berpandangan lalu membubarkan diri membiarkan pimpinan penyelidikan untuk menjelaskan situasi namun Sherly tidak berkata apa pun. Ia ikut berjalan keluar.

“Thanks ya, Sher, udah ngebangunin,” kata Helen.

Sherly berbalik. Lehernya yang jenjang memerkan garis-garis ototnya yang halus ketika ia menolehkan kepalanya, “Kenapa?”

“Tadi gue mimpi serem banget,” kata Helen.

Setelah kejadian itu, tiba-tiba saja semuanya merasa capek dan ingin cepat-cepat pulang. Malam itu tidak ada yang mau pergi ke dapur, bahkan ke toilet tanpa ditemani kawan sekamarnya.

[BERSAMBUNG]

Cerita lenkap bisa dilihat di blog saya: http://armeibee.weebly.com/stroberi-sweet-novel.html

Atau di sini: http://www.wattpad.com/story/1400360-stroberi-sweet

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun