Aparatur negara terlihat indisipliner, lebih dikarenakan tidak jelasnya tugas yang harus dikerjakan, dan tak sedikit karena buruknya sistem.
Pegawai Negeri Sipil, dengan uniform yang dikenakannya tanpa rasa malu pada jam kerja asik ngobrol berhaha hihi dikantin kantornya, atau asik menggunakan komputer dimeja kerjanya fb-an, twiteran bahkan ada yang seperti anak kecil asik main game. Pemandangan seperti ini menjadi tak asing lagi terlihat di Kantor2 Pemerintah.
Sementara keinginan untuk menjadi PNS sangat besar bagi pemuda-pemudi Indonesia, lebih2 saat ini, kala untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi tipis harapan karena beberapa alasan.
Maka peluang "bermain" dalam penerimaan PNS menjadi sangat menggiuran. Bagi Kepala Daerah, Bupati dan Walikota seperti mendapat kesempatan untuk meluluskan janji kampanye akan menyerap tenaga kerja lokal menjadikan pemuda-pemudi sebagai pegawai Pemda. Sepertinya usaha yang mulia dan patut mendapat acungan jempol.
Tetapi tak dipikirkan darimana uang untuk membayar gaji PNS Daerah Otonom, tak dipikirkan bagaimana me-manage pegawai menjadi efektif dan efisien. Boleh jadi inilah cara menyelesaikan masalah dengan memunculkan masalah lagi. Bupati dan Walikota tak peduli menghabiskan sebagian besar APBD hanya untuk membayar gaji PNS nya. Merekapun tak peduli aparaturnya tidak berkualitas, yang penting punya loyalitas terhadap dirinya.
Ironi memang, PNS yang hanya modal loyal tanpa kualitas dan sudah menghabiskan APBN dan APBD tapi koq dipertahankan ? Bukankah fenomena ini yang berpotensi membuat Indonesia makin terpuruk, bahkan bisa juga ambruk ?
Tidak semua PNS berkualitas buruk, banyak juga PNS bagus, punya integritas berdedikasi tinggi, cerdas dan jujur. Tapi sayang biasanya pegawai dengan kualitas seperti ini sering tersingkir karena disingkirkan oleh sang Bos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H