Tak ada suara dentuman kata-kata
merobek gendang telinga
tak ada barisan kata-kata
menanduk dinding nurani
tak ada gemuruh kata-kata mengaduk ketenangan palung hati
Dahulu,
kata-kata selalu diam
membiarkan jarum jam melaju tanpa gubrisan
ia memilih bersembunyi di ceruk jiwa
melebur bersama kesucian
ia terjaga dan sama sekali tak tertarik
untuk berkeliaran di luaran sana
karenanya ia menghindari kuping
Dahulu,
kata-kata tak pernah diujarkan
tak pernah dibentangkan dalam tulisan
ia memilih bersemayam
di langit ketujuh pikiran
dan di lapis ketujuh sanubari
Dahulu,
acapkali kata-kata bercengkerama
tanpa suara di bilik sunyi
namun di penghujung cengkerama
kata-kata tak pernah lupa membisikkan pelajaran hidup ke setiap inci tubuh dan langkah laku
Mungkin zaman telah berubah
kini, kata-kata sudah jenuh
meringkuk dalam batasan
ia telah menemukan era baru:
zaman kata-kata
zamannya kata-kata bebas berseliweran
meski kadang-kadang ia tersesat
dan tak menemukan jalan pulang
Kini,
kata-kata sudah berceceran
di mana-mana
namun acapkali menjelma hukuman paling mematikan; kepada yang berkata-kata
Upsss...
Makassar | 30 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H