Daeng Raja, lama meringkuk di gubuk tua beratap rumbia. Dengan keringat mengucur di dahi, ia keluar ke jalan raya. Di bawah sinar matahari pagi menjerit. Kemarahannya tertuju ke dada anak negeri.
Daeng Raja marah kepada kaum filsuf. Menjubeli dunia modern dengan buah pikiran. Mahaluas pengetahuannya, tapi tak menggerakkan zaman yang dilumuri kezaliman.
Marah kepada kaum sufi, berkontemplasi di ujung malam. Mencari cahaya Tuhan, tapi hijrahnya belum berubah. Manifestasi cinta ilahi berhenti kepada keselamatan diri sendiri.
Marah kepada kaum intelektual. Pemihakannya makin kabur, berjamaah mendukung, tapi biarkan pemegang kuasa terus terlupa.
Marah kepada kaum ilmuwan. Menghabiskan waktu di pojok sepi demi menemukan alat kemudahan. Tapi temuannya dibajak si pemilik modal.
Marah kepada agamawan. Berkhotbah mengurai ajaranNya. Umat diajak tinggalkan pelukan dosa, tapi hanyut dalam ibadah ritual, kesampingkan derita umat yang miskin.
Marah kepada kaum muda. Belum persembahkan yang terbaik untuk negeri. Terlalu asyik mencumbui diri di balik jeruji ego. Dan terlena di bawah ketiak 'golongan tua'. Lupa, 'golongan muda' pernah ukir sejarah dengan tinta emas.
Sebelum mentari berlalu. Daeng Raja berpesan melalui sang bayu: "Hidup yang berarti ialah hidup yang mengabdi kepada Tuhan. Mengabdi kepada Tuhan berarti mengabdi kepada kemanusiaan".
(Catatan langit)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H