Mohon tunggu...
Arman Bemby Sinaga
Arman Bemby Sinaga Mohon Tunggu... Dosen - Bangkit dan Bercahaya

Belajar Menulis...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negeri 8BLT

9 Mei 2012   02:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:31 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Negeri 8BLT

Mulai awal April harga BBM bersubsidi akan segera naik. Sebagai kompensasi untuk rakyat yang kurang mamapu, pemerintah akan memberi bantuan materil kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai. Dengan kata lain, negara akan bagi-bagi rejeki dari untung menaikkan harga BBM bersubsidi itu.

Kebijakan ini mengandung pro dan kontra. Yang setuju mengangguk, diam dan bahkan mati-matian mendukung program pemerintah ini. Yang kontra langsung demo, berwacana, dan bahkan sampai ada juga yang sudah bersikap apatis. Contoh penolakan program BLT ini dilakukan oleh para mahasiswa yang demo, pengamat, politisi bahkan oleh aparat dan perangkat desa sekalipun. Tapi apa daya, model BLT merupakan model penyelesaian masalah yang sudah kronis dan membudaya bukan hanya dari segi pemerintah namun hampir di semua kalangan masyarakat.

Program BLT pada hakikatnya memiliki pola yang sama dan nilai yang sama dengan cara-cara pembodohan lainnya. Sudah terbiasa rakyat ini dibantu-bantu sehingga akhirnya tidak mandiri. Model pragmatisme ini membuat cara beripikir bangsa ini serba instan dan tidak memikirkan dampak jangka panjang. Strategi memanjakan rakyat ini bukan hanya sekedar membodohkan tapi juga membius dan membuat rakyat ketergantungan. Dari pengamatan saya BLT di negeri ini sudah mendarah daging dan bahkan membudaya.

8BLT, sebuah siklus kronis

Dari budaya yang sudah mengakar, paling tidak, BLT itu tejadi runut dalam delapan bagian. Pemabgian BLT yang pertama dan yang paling awal adalah “bantuan langsung terdiam”. Anak-anak Indonesia sudah terbiasa kalau meminta sesuatu itu dengan merengek-rengek dan bisa sampai menagis, menjerit, dan meronta-ronta. Tidak jarang untuk mendapatkan mainan yang diinginkan, seorang anak akan sampai jungkir balik di tengah keramaian. Dalam hal ini, orang tua kita akan merasa malu dan meluluskan keinginan anak tadi. Katika anaknya sudah dapat mainan, sontak ia akan terdiam. Bantuan langsung Terdiam untuk level pertama berhasil.

Setelah anak Indonesia besar, segera ia akan bersekolah. Selama di sekolah, anak Indonesia sering dapat “bantuan lulus tes”. Mulai dari ujian bulanan, semesteran bahkan sampai ujian akhir, bantuan lansgsung lulus tes ini sudah menjadi rahasia publik. Pengamatan saya berkata, kalau pihak sekolah jujur dan sistem pendidikan kita bersih dan tidak curang, siswa yang bisa lulus itu paling banyak hanya 40% dari semua. Tapi demi kelangsungan hidupnya pendidikan, diberlakukanlah bantuan langsung tes supaya si anak bisa naik kelas dengan memperbaiki nilai bahkan sampai “cuci rapor”.

Semakin besar, anak Indonesia makin bergantung dan terpenjara dalam ketidakmandirian. Setalah mamasuki dunia kampus muncullah “bantuan langsung tamat”. Sudah tidak perlu diragukan kalau paling mudah dapat gelar akademis itu di Indonesia. Lembaga pendidikan saat ini sudah semakin berkuantitas walau abai dengan kualitas. Dengan bantuan langsung tamat ini bisa deilakukan cukup dengan registrasi, duduk, bayar uang kuliah, beli tugas, bayar skripsi dan sogok dosen. Dengan uang orang Indoensia bisa langsung jadi sarjana. Tentu, tetap dengan menerima “bantuan langsung tamat” tadi. Akhirnya, banyak pejabat dan calon pejabat yang terjerat kasus ijzah palsu.

Setelah tamat kuliah dan jadi sarjana, para alumni ini pun akan mencari pekerjaan layanya mencari jarum di tumpukan jerami. Karena harus bekerja namun kurang kompetensi dan skill maka diperlakukan BLT selanjutnya. “Bantuan langsung terima” menjadi jurus agar seorang alumni lemah konpetensi tadi bisa bekerja di sebuah perusahaan dan bahkan sampai institusi pemerintahan. Koneksi yang kuat, persaudaraan, loyalitas sesama alumni, sampai uang sogokan harus menjadi modal agar para sarjana impoten tadi bisa dapat kerja. Paling barter, tidak ada perusahaan yang terima, dan gagal ujian CPNS, mereka pun akan disisipkan menjadi tenaga hororer dengan masa bekerja cukup lama dan bahkan lebih awal dari tahun tamat ijazah.

Semakin dewasa, orang-orang tadi akhirnya bisa berada pada posisi yang aman dan nyaman di pemerintahan, BMUN atau perusahaan lainnya. Ketika mereka ingin naik jabatan atau menjadi pejabat, meraka harus memakai jurus BLT selanjutnya yakni “Bantuan langsung terpilih”. BLT kelima ini merupakan upaya agar mereka tidak stagnan dalam posisi aman tadi. Untuk manjadi kepala dinas, bos atau bahkan anggota DPR dan kapala daerah, mereka akan mengunakan koneksi, famili sampai kepada uang pelicin. Menyogok atasan dan rakyat adalah strategi jitu agar seorang bisa terpilih menjadi pemangku jabatan dan duduk kursi empuk dan meja basah. Bukan berita atau cerita kalau di negeri ini marak dengan “money politics”.

Setelah menjadi orang penting serta terhormat, tentu mereka ingin memasuki level kaya. Untuk mencapai level ini, tentu sebagai pengusaha atau penguasa, mereka yang impoten tadi harus kuat agar bisa menang tender dan dapat proyek. Untuk itu, diperlukan obat kuat berupa “bantuan lulus tender”. Seperti gayung bersambut, baik pengusaha maupun penguasa yang sudah gila uang dan harta akan memasang permainan yang bulus mulai dari koneksi, kekeluargaan, lobi partai sampai janji “success fee”. Mereka yang dari awal tidak profesional akan memakai cara-cara dan orang profesional untuk membantu meluluskan tender atau proyrk. Strategi penggunaan orang-orang profesional ini akan sangat jitu. Paling tidak, kalau ketangkap KPK yang ketangkap adalah para kaki tangan itu.

Seandainya pun sampai tertangkap tangan oleh KPK atau penegak hukum lainnya, bapak-bapak yang korup tadi masih punya alat bantu yang lainya, “bantuan langsung terbebas”. Dengan uang, koneksi, loyalitas partai, jabatan dan kong kali kong, mereka yang terjerat hukum masih bisa memikirkan cara-cara untuk bebas. Bahkan, meskipun secara hukum sudah jadi terdakwa atau narapidana, mereka masih tetap bisa berusaha bebas secara tehnis dan faktual. Tidak heran di negeri ini kalau orang dalam kebebasan tidak pernah liburan karena tidak punya uang ,sementara mereka yang dibui masih berwisata dan berpelesiran. Tidak heran kalau yang susah tidak bisa ke tempat hiburan, sementara yang di penjara mendatangkan hiburan berupa karoke dan lain sebagainya. Ya...kalaupun mau berbisnis, berbisnislah dari balik jeruji.

Bukan hanya sebatas personal dan institusi, ketergantungan juga memaksa negara ini untuk memakai jurus “bantuan luar negeri terus”. Negeri ini sepertinya memang sudah ketergantungan dengan utang luar negeri. Dengan kata lain, tiada Indonesia tanpa utang. Prestasi utang negara ini sudah sangat mengkronis. Jumlah utang Indonesia (kumulatif) hingga 2012 ini diperkirakan mencapai Rp 1.937 triliun. Artinya, setiap warga negara Indonesia akan memikul beban sekitar Rp 8 juta (tempo.co.id).

Resolusi atasi 8BLT

Menyelesaikan masalah dengan cara yang serba “short cut” harus segera diminimalisir dari negeri ini. Mau tidak mau butuh usaha dan ketekunan untuk memperbaiki kesemrautan budaya ini sejak dini mulai kini. Negeri ini perlu memulai budaya baru, budaya mandiri. Budaya mandiri ini harus dimulai dari rumah dan sejak anak-anak. Memanjakan anak akan berujung pada memanjakan rakyat. Mulai memanipulasi anak akan berujung pada korupsi yang mengkroni, mengkoloni dan mengkronis. Untuk membangun negeri yang terbebas dari BLT saya yakin negeri ini perlu empat puluh tahun kedepan, itu pun kalau sudah dimulai dari sekarang. Kalau tidak siklus dan pola ini kan berulang turun temurun tanpa berkesudahan.

Selain itu, dinantikan pemimpin yang berani memutus mata rantai ketergantungan ini. Kedepan negeri ini, kalau mau bebas BLT, harus punya pemimpin yang lebih bersih, lebih berani, lebih mandiri dan lebih tegas dibanding presiden sekarang (Kira-kira ada tidak ya?). Dibutuhkan pemimpin yang tidak memanjakan anak dan rakyat, yang tidak bergantung kepada bangsa asing, partai koalisi, dan harta. Dinantikan pemimpin yang berani memutus mata rantai ketergantungan dengan kapitalisme dan sangat cinta tanah air penuh nasionalisme. Semoga peminpin yang menyatakan Amerika sebagai negara keduanya tidak muncul lagi.

Untuk mengikis dan mengamputasi penjalaran ketidakmandirian ini, pemerintah perlu melakukan resistematisasi dalam semua sektor. Kebijakan pemerintah memang harus pro rakyat tapi tidak melakukan pembiusan dan penggantungan. Cukup sudah rakyat ini menjadi keledai yang berjalan karena melihat di depannya ada tergantung makanan. Negeri ini perlu sistem yang mendidik dan memandirikan. Perlu sistem keluarga, masyarakat, sekolah, pemerintah yang benar-benar mendewasakan bukan mengkanak-kanakan generasinya. Perlu penindakan secara hukum sedikit demi sedikit walau tidak akan cepat memberi efek jera.

Sebuah bangsa yang maju adalah bangsa yang mandiri. Bangsa yang madiri akan terbangun hanya apabila di dalamnya terdapat keluarga yang memandirikan, sekolah yang mencerdaskan, masyarakat yang berdiri di kaki sendiri, dan permerintah yang punya visi dan jati diri. Saya yakin hanya negara yang selalu mandirilah yang akan sanggup bertahan dan terus berdiri.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun