Mohon tunggu...
Arman Panigfat
Arman Panigfat Mohon Tunggu... Pemerhati -

Institut Tinta Manuru Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Panggung Karbala

2 Oktober 2017   23:33 Diperbarui: 4 Oktober 2017   14:34 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari mulai malu-malu menampakan dirinya pukul 15.58 wib, sore taman ismail marjuki. Perlahan angin sepoi meniup kearah selatan menaburkan kata-kata puisi penuh khidmat. Tak kalah poster penyelenggaraan hari puisi se-indonesia dengan tematik yang kaku berhias bambu tradisional hasil produk pribumi. Kaos hitam bersablon "panggung inspirasi" buku penulis sastra indonesia terjajal diatas meja berukuran empat kali satu setengah menambah suasana cerah sore.

Sebelumnya MC lembut bersuara gemuruh, panggung ini adalah kopi gelas tumpah. Dilanjutkan dengan memanggil perwakilan sastrawan dari daerah yang turut hadir dalam pembacaan puisi. Kutai, Suka Bumi, Ternate, Sulawesi Barat dan masih banyak lagi. Kutipan salah satu puisi "perjalanan kubur". Hal ini berupa atmosfer penarik sastrawan puisi indonesia. Kutipan puisi "miskin" dapat menjual jabatan dan bahkan miskin dapat kaki menjadi bui, kami haus kemiskinan karena kemiskinan menjadi  tuan dirumah sendiri.

Setelah kata bergelindang dapat menyayat dinding-dinding sekeliling Taman Ismail Marjuki merasuk bagai kilat setiap makhluk dan pesta acara.  Daerah punya ragam itulah indonesia sekumpulan budaya, ras, etnik dan suku. Namun, SATU. Terlihat gaya khas, berpakaian bermacam macam kalem, nyentrik, kusam dan lusuh.

Tapi tidak menghilangkan pemersatu yaitu pancasila, semestinya negeri ini tidak terjadi pesta para perampok. Keinginan itu mungkin milik kita. Namun, hal itu tidak serupa. Jauh tumbuh perampok-perampok yang lihai dibangsa ini. 

Satu persatu genre puisi dibacakan. Koruptor, cinta dan beraliran kisah lokal memecah dibawah hitam kabut polusi langit jakarta. Tampak seduh kopi tubruk disiapkan teman-teman puisikal asal lombok. Dipelataran panggung hari puisi indonenesia kuliner khas Jakarta Siomay, Dodol Betawi, Mie Ayam Baso melengkapi riuhnya pembacaan puisi. Lima tahun HPI, pukul 22.38 waktu Jakarta penampilan TIKOM titik kumpul menambah nikmatnya malam, terdapat kata yang unik yaitu perepuan itu harus bisa menjahit setidaknya dapat menjahit lukanya sendiri.

dok
dok
Kursi duduk berwarna merah tampik pembawa acara itu adalah tanda keindonesiaan. Panggung puisi ini tidak tertinggal memuntahkan ide kritis, bukan juga sekedar bahan pergunjingan para elit & masyarakat jelata dimedia sosial, diatas trotor jalan namun, lebih dari itu.

Mendekat sunyi tempat duduk berserakan peserta mengambil posisi ditenda paling belakang menyaksikan pentas demi pentas. Tetapi tidak seperti panggunya para politisi yang cerdik memainkan sandiwara. Tidak pula seperti elit bertengkar isu PKI, pembelian senjata yang membikin masyarakat hamil tanpa disetubuhi. Wasalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun