Indonesia sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India, pasca reformasi tahapan-tahapan sudah dilewati, cacian dan pujian atas demokrasi terus mengalir diberbagai kalangan seakan-akan sistem demokrasi tidak tepat untuk indonesia. Sebagai bangsa yang besar ini seharusnya menjadi tanggung jawab bersama dalam merawat demokrasi terutama, Elit Partai Politik, Penyelenggara pemilu, dan Masyarakat itu sendiri.
Minimnya etika yang dimiliki  mencoreng wajah demokrasi, yang semata-mata hanya mementingkan  kepentingannya sendiri. Dan ini akan menjadi catatan kelam yang akan diwariskan ke generasi penerus bangsa. Yang seharusnya dasar etika  menjadi pijakan dalam membangun kehidupan bernegara yang nantinya untuk kebaikan bersama, sebagai muara dari etika sebuah Negara.Â
Etika yang baik hanya mungkin tercipta dalam Negara yang menyediakan tata aturan yang mengarahkan setiap perilaku warganya demi kebaikan bersama. Dari sisnilah kita bisa mengukur apakah perilaku politik yang berkembang sekarang ini mengarah pada kepentingan bersama atau justru mengkristal menjadi kepentingan kelompok dan pribadi.
Fenomena terakhir yang menjadi catatan buruk bagi Negara ini adalah, tersandungnya Korupsi Wahyu Setiawan yang akan menimbulkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu, terjadinya Aksi Lempar Kursi pada konres Partai Amanat Nasional, dan merebaknya Money politik di masyarakat. Tentu ini jauh dari kata etika bernegara.
Etika politik pada akhirnya ditentukan sejauhmana masing-masing warga negaranya mengarahkan sikap dan perilakunya demi terciptanya kohesi social melalui cara-cara yang bermatabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H