***
Azan magrib mengudara, langit nyaris gelap. Banuri sebenarnya sengaja berkeliling lebih lama agar Andru tak bisa ikut perlombaan di sekitar tempat tinggal mereka. Ia tak ingin kecewa lebih dalam karena sudah tahu keberadaan-nya dan Andru tak akan dianggap, terlebih mereka tak bisa memberikan sumbangan untuk membeli hadiah-hadiah lomba.
Warga sekitar dikabarkan juga melaksanakan nonton bersama upacara bendera yang disiarkan secara langsung dari Jakarta, dan dihadiri banyak pejabat. Namun Banuri merasa belum bisa berpartisipasi, karena harus mencukupi kebutuhan anaknya terlebih dahulu. Menyaksikan upacara bendera saat memperingati hari kemerdekaan masih bisa diikuti tahun depan. Tapi rasa lapar anaknya siapa mau tanggung kalau bukan dirinya sendiri. Bahkan pejabat-pejabat berbaju rapi di upacara tersebut belum tentu mau memberikan sekarung beras untuk mereka. Kira-kira begitu pikir Banuri. Jadi pada dasarnya ia telah mati rasa mengenai urusan seremonial.
"Lomba-nya sudah selesai, Yah?" tanya Andru. Mata anak itu mengawasi sisa-sisa sampah bertebaran di hamparan lapangan voli. Sejumlah panitia masih berada di situ sembari mengemasi beberapa barang.
Banuri hanya menatap anaknya. Hatinya sedang kacau. Firasat buruk menerpa.
Sesampainya di depan rumah, mereka berdua terdiam melihat tumpukan barang tergeletak di tanah. Baju sekolah Andru tampak berlepotan lumpur. Sementara panci-panci dan piring-piring melesat ke arah semak belukar. Mereka telah diusir karena tak bisa membayar uang sewa.
Tangan kanan Andru yang memegang replika bendera mendadak bergetar. Ia kemudian menggoyang tangan Banuri yang berdiri kaku tanpa ekspresi.
"Ayah, arti 'merdeka' itu apa?"
Pecah tangis Banuri yang telah ditahannya selama beberapa tahun belakangan.
---
Dicky Armando, S.E. - Pontianak