Sejak jam tujuh pagi tadi kuperhatikan pergerakan ibu-anak itu. Mereka menyusuri jalanan yang ada di Ghost City tanpa lelah. Mulai dari gang-gang sempit, sampai jalan protokol.
Si ibu mengenakan semacam daster warna coklat lusuh, sementara si anak laki-laki mengenakan baju kaos putih kumal, dan celana pendek yang sudah tak tertebak lagi warna aslinya.
Bagi orang lain, mungkin mereka tampak seperti pengemis-pengemis biasa yang bertebaran di kota ini akibat kelalaian pemerintah. Hanya aku tak merasa seperti itu. Ketika melihatnya, aku tahu bahwa mereka adalah sesuatu yang lain, ganjil, dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Maka aku memutuskan untuk mengikuti segala kegiatan mereka hanya untuk membuktikan bahwa aku memang salah.
Ibu-anak itu sama sekali tak saling bicara, mereka hanya berpandangan saja ketika akan melakukan sesuatu. Cara komunikasi yang tak biasa. Ketika sedang meminta-minta di depan rumah orang, mereka juga hanya diam berdiri. Diusir oleh pemilik rumah, juga tak tampak reaksi apa pun. Hanya pergi berlalu begitu saja.
***
Sekarang mereka berada di depan restoran mewah. Tempat ini memang biasa didatangi kaum berduit dan kaum yang pura-pura kaya untuk sekadar ber-swafoto.
Seorang petugas keamanan yang dibayar oleh pihak restoran berusaha mengusir mereka dengan gestur dan kalimat kasar. Anak-beranak tersebut tidak bereaksi, hanya diam seperti biasa. Petugas itu kemudian mengambil air panas dan menyiramkannya.
Benar-benar gila, hanya karena takut kehilangan gaji, manusia modern sekarang ini sanggup berbuat hal keji terhadap sesama. Tapi yang paling gila adalah ibu-anak itu tidak terluka sedikit pun. Mereka berlalu pergi seperti biasa, seperti tak terjadi apa pun.
Penasaran, kudekati mereka dengan cara sekadar melintas. Setelah diperhatikan memang tidak ada yang aneh kecuali tidak ada luka bakar akibat air panas, dan mata kedua orang itu yang bersinar seperti biji berlian. Aku mulai yakin bahwa mereka ini merupakan sesuatu.
Masih penasaran, aku pura-pura melewati mereka lagi. Tapi sekarang terlihat biasa saja, tak ada mata yang bersinar. Semua normal saja, kecuali giliran mereka yang sekarang memerhatikanku dari ujung rambut sampai kaki dengan tatapan tajam. Aku segera kabur dan bersembunyi kembali.