"Dulu, zaman Khalifah Umar bin Khattab pernah bertemu dengan seorang ibu yang memasak batu untuk memperdaya anak-nya akibat tak memiliki sumber daya untuk membeli makanan," kata guru agama saya.
Waktu itu saya masih mengenyam pendidikan di sebuah sekolah dasar yang berbasiskan Islam di Kota Pontianak. Sesi pelajaran sejarah Islam adalah favorit saya. Para guru di sana selalu mengajarkan untuk mengambil hikmah dari kejadian masa lalu, agar waspada di masa depan.
Khusus kasus Khalifah Umar bin Khattab---sampai tadi subuh---saya masih percaya bahwa peristiwa tersebut tak akan terjadi lagi di dunia yang masyarakatnya kekenyangan makan pizza.
Pagi ini, vivanews(dot)com mengejutkan mata saya yang masih mengantuk dengan sebuah artikel berjudul "Viral Ibu Masak Batu untuk Tenangkan Anak-anaknya saat Pandemi Corona".
Berita tersebut mengabarkan tentang seorang ibu bernama Peninah Bahati Kitsao yang tingga di Mombasa, Negara Kenya. Wanita yang sehari-hari menyediakan jasa mencuci pakaian itu harus memasak batu agar delapan orang anaknya percaya ia sedang menyiapkan makanan.
Sejarah berulang ....
Saya tertegun dalam sekian detik karena membayangkan mata pelajaran sejarah Islam yang telah lama berlalu itu.
Tommy Kurnia menulis artikel "130 Juta Orang Bisa Kelaparan Akibat Pandemi Corona Covid-19"---diterbitkan di liputan6(dot)com pada 22 April 2020---yang menyebutkan bahwa pada tahun 2020, masyarakat yang terancam kelaparan meningkat hingga 265 juta orang, setengahnya merupakan akibat pandemi Corona.
Namun, dalam berita tersebut tidak menyebutkan apakah Indonesia juga akan terkena bencana kelaparan. Saya penasaran!
Tetapi---masih dalam artikel yang sama---David Beasley, Direktur World Food Programme (WFP) mengatakan, "Saat ini tidak ada bencana kelaparan. Tetapi saya harus mengingatkan kepada kalian bahwa jika kita tidak bersiap dan bertindak sekarang untuk mengamankan akses, menghindari kekurangan pendanaan, dan disrupsi perdagangan, kita bisa menghadapi banyak bencana kelaparan dalam jumlah besar dalam beberapa bulan saja."
Pada tanggal 24 April 2020, Benedikta Miranti Tri Verdiana menulis sebuah artikel di liputan6(dot)com yang berjudul "Pandemi Corona Ancam 130 Juta Orang di Dunia Kelaparan, Bagaimana Indonesia?". Diberitakan pemerintah Indonesia telah menjamin ketersediaan bahan pangan menghadapi pandemi Virus Corona.
Harusnya ini berita bagus. Tapi ....
Di negara yang sumber daya alamnya melimpah seperti di Indonesia, seharusnya tidak ada lagi yang namanya "kelaparan". Tapi apa yang terjadi bukan perkara "melimpahnya pangan", melainkan "cara mendapatkannya", terutama bagi saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
Terlalu jauh jika saya berbicara tentang "keadilan sosial". Coba lebih kita sederhanakan dengan sebuah kisah.
Suatu hari ada seorang anak miskin yang tidak punya uang, ia ingin membeli bakso. Pedagang bakso tepat berada di depannya, tapi tetap saja makanan itu tak bisa ia dapatkan.
Sampai di sini jelas?
Pertanyaan berikutnya: "Seandainya ada makanan gratis dari pemerintah, apakah distribusinya tepat sasaran?"
Mari kita simak suatu kisah lagi. Pria miskin ini tinggal di desa yang sangat jauh dari kota. Bersamanya, sejumlah kepala keluarga juga sedang menunggu bantuan pemerintah.Â
Berhari-hari menunggu, tidak juga muncul apa yang sedang ditunggu, akibat tidak akuratnya data dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap sesamanya.
Dua kisah tersebut tidak terjadi di Indonesia, melainkan di suatu negara yang berlokasi dalam imajinasi saya. Tentu kita semua berharap kisah-kisah itu tak akan terjadi di negara tercinta ini.
Meski begitu, saya tetap punya kecurigaan kuat bahwa masalah Indonesia bukanlah soal ketersediaan pangan, melainkan daya beli dan penyebarannya yang mungkin bias.
Boleh curiga, donk?Â
Tetapi semua dugaan tersebut akan sirna jika saja kita masih memelihara hati nurani dan kepedulian terhadap sesama manusia. Tapi, berapa banyak dari kita yang mampu mengedepankan logika dan perasaan melawan rasa lapar?
Jika sangkaan saya seperti dalam kisah-kisah sebelumnya terjadi, yang ujungnya adalah kelaparan, maka sepertinya akan terjadi hal-hal tak menyenangkan.
Anindhita Maharrani menulis artikel "Rasa Lapar Mengalahkan Haus dan Takut"---diterbitkan beritagar(dot)id pada tanggal 5 Oktober 2016---menjelaskan rasa lapar bisa menjadi motivasi yang sangat kuat. Bahkan dalam sebuah penelitian, rasa lapar mampu mengalahkan rasa takut, sehingga merasa bisa melakukan apa saja.
Oleh karena itu, ayo kita berdoa dan "mengawal" bantuan untuk saudara-saudara kita di seluruh Indonesia (jika bantuan itu memang benar adanya).
***
Dicky Armando, S.E.-PontianakÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H