Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hakikatnya, Kita Semua adalah Buruh

30 April 2020   12:18 Diperbarui: 30 April 2020   12:21 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga sejumlah barang relatif tinggi, meski beberapa jenis di antaranya masih ada yang stabil. Mau bertemu teman atau keluarga juga sudah agak sulit pada masa ini. Uang tabungan menipis, beras di dapur hampir habis, sementara jam kerja kantor terpaksa dikikis, atau bahkan masa kerja harus berakhir tanpa bisa kita "tangkis". Adakah yang mengalaminya?

Barangkali rekan-rekan yang hidup dari gaji yang dibayarkan negara tidak akan pusing-pusing memikirkan perkara ini, dan kalian pun saya rasa tak akan mau buang-buang waktu bahkan untuk sekadar bersimpati kepada kami-kami yang hidup tanpa uang negara. Lebih baik memikirkan keluarga sendiri. Pastilah seperti itu. Benar, bukan?

Saya tidak sedang sarkastis, melainkan menyampaikan sejumlah fakta yang ada di lingkungan sendiri. Artinya ini bisa terjadi di tempat lain, atau sebaliknya. Jangan pula salah paham menganggap saya iri atau apalah namanya, bahkan saya sangat mengerti, begitulah hidup "bekerja" pada jalurnya. Kita punya keberuntungan dan rezeki masing-masing. Dilarang saling menganggu, karena sebenarnya di negeri ini kita terbiasa mempertahankan "gengsi kasta". Tenang, kita sama-sama tahu meski tak diungkapkan.

Beberapa minggu lalu, sejumlah rekan kerja saya harus "diam di rumah" karena dampak perekonomian yang menghantam perusahaan, sehingga ... ah, Anda pasti sudah tahu kelanjutannya.

Beruntung. Hanya kata itu yang mewakili keadaan saya, masih dipertahankan oleh pihak perusahaan. Namun sebenarnya saya tidak seberuntung itu. Jam kerja saya dikurangi, sehingga berpengaruh terhadap penghasilan. Tapi memang benar, saya wajib bersyukur. Bukan keinginan pihak perusahaan untuk "merumahkan" atau "mengurangi", saya tahu persis bahwa tempat kerja saya itu dipenuhi oleh orang yang berjiwa besar.

Tapi sampai kapan keberuntungan saya itu akan bertahan? 

Selfi Oktarianisa, dalam artikel yang berjudul "Sedih, Maskapai Ini PHK 5.000 Karyawan karena Corona"---diterbitkan oleh cnbcindonesia(dot)com---menyebutkan maskapai asal Skandinavia, SAS, akan memangkas ribuan karyawannya dalam waktu dekat.

Ketika membaca berita tersebut, kepala saya tiba-tiba berdenyut kencang. Ada tanda tanya yang bergejolak di dalamnya. Logika saya berkata: "Perusahaan yang telah go international saja bisa runtuh seperti itu. Apa kabar kami?"

Saya berusaha melupakan kabar tersebut, dan mencoba tetap berpikir positif. Lalu saya menghubungi seorang teman via telepon untuk menanyakan apakah dia punya kabar baik untuk memotivasi saya yang sepertinya sudah mulai oleng ke kanan-kiri. Teman saya berkata: "Kau harus semangat, Kawan! Jangan terlalu khawatir!"

Ada benarnya juga nasihat dia. Mungkin saya terlalu khawatir. Maka saya raih kembali smartphone, dan kembali membaca berita.

Saya menemukan sebuah artikel berjudul "Sampai Kapan Jumlah PHK Terus Bertambah?" Ditulis oleh Anisa Indraini di finance(dot)detik(dot)com. Dalam tulisan itu disebutkan sampai tanggal 20 April 2020, sebanyak 2.084.593 karyawan telah di-PHK akibat imbas pandemi Corona.

Denyut kepala saya kembali lagi. Semakin kencang. Hidup mati buruh seperti sedang berada dalam tangan penjudi amatiran.

Anggap saja bahwa banyak karyawan/buruh telah banyak yang di-PHK. Maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mereka tidak kekurangan pangan di saat negara sedang melakukan kebijakan sejenis lockdown, yaitu dengan cara membagikan makanan kepada semua pekerja yang terkena dampak Covid-19, kecuali orang-orang yang gajinya dibayar oleh negara.

Harusnya negara mampu, bisa, dan harus melaksanakan kewajiban terhadap rakyatnya yang selama ini tidak pernah mengganggu atau menikmati uang negara.

Akan banyak muncul pertanyaan seandainya negara tidak mampu memberi makan para pekerja yang terdampak Covid-19.

"Uangnya ke mana?"

Apakah untuk membayar utang luar negeri atau apa, kita juga tak tahu, tapi yang pasti akan muncul gejolak di masyarakat. Perut lapar biasanya tidak mengenal berbagai bentuk alasan.

Jika negara pada saat ini dapat memuaskan khalayak, saya yakin nanti setelah wabah ini hilang, akan banyak doa dan pujian bagi kalian semua yang duduk manis di "sana".

Coba kita lihat lagi langkah apa saja yang sudah dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan pekerja di Indonesia. Muhammad Idris menuliskan dalam artikelnya yang berjudul "5 Upaya Jokowi Selamatkan Nasib Karyawan Selama Wabah Virus Corona"---diterbitkan oleh kompas(dot)com---bahwa pemerintah akan mengupayakan Kartu Prakerja, insentif untuk korban PHK, terbitkan surat utang, insentif untuk pekerja medis, dan kepastian THR.

Saya memperhatikan beberapa poin: Kartu Prakerja, insentif untuk korban PHK, dan kepastian THR.

Terus terang, dalam kondisi uang menipis seperti ini, saya masih belum terlalu paham bagaimana Kartu Prakerja berperan. Kemudian, tampaknya teman-teman saya yang "dirumahkan" sepertinya belum mendapatkan insentif yang dimaksud, tapi bisa jadi di daerah lain sudah terlaksana. Entahlah.

Mengenai kepastian THR, yang menjadi kebingungan kita semua adalah: "Entah bagaimana cara menghitung THR, sementara seseorang telah di-PHK". Tapi semoga ada sesuatu yang terlewat oleh saya, sehingga sebenarnya orang yang telah di-PHK pun masih bisa mendapatkan jumlah THR yang adil. Doa saya penuh "semoga".

Akhir kata, hidup buruh adalah kehidupan kita semua, mati buruh juga merupakan kematian kita semua, meski saya yakin tetap ada yang tak peduli.

***

Dicky Armando, S.E - Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun