"Maaf Bu Wanti, suhu AC-nya mau diturunkan lagi?" tanya Si Karyawan.
Keempat tamu itu terkejut. Dari mana ia tahu nama Wanti, tapi tak lama lagi mereka akan mengetahuinya.
"Kata Pak Anton, Bu Wanti tidak tahan dingin," ujarnya lagi.
Ayah Wanti memandang istrinya, dan Wanti terkejut, melihat Anton melambai dari parkiran mobil, dan pria itu segera beranjak pergi menaiki mobil sport yang berukuran cukup besar.
***Â
Kisah tersebut dituturkan oleh Anton (nama samaran) kepada saya, dengan sedikit tambahan "bumbu" dengan harapan inti cerita tersampaikan dengan baik.
Saya teringat lagi kisah Anton, karena dalam satu minggu ini, orang-orang menjejali saya dengan pertanyaan yang sama: "Tidak coba tes PNS tahun ini?"
Agak sulit untuk saya pribadi yang lahir di tengah keluarga yang kebanyakan bekerja sebagai PNS dan punya karier yang aduhai. Sementara saya bekerja sebagai karyawan swasta.
Sejak lulus kuliah, saya melawan arus kebiasaan keluarga yang meyakini bahwa hidup aman dan nyaman adalah menjadi PNS. Tidak dapat dipungkiri, sejak kecil sampai masa kuliah, saya tidak banyak mengalami kesulitan ekonomi, entah ada hubungannya atau tidak dengan status PNS yang melekat pada ayah dan ibu.
Saya pun sempat percaya bahwa menjadi PNS adalah sebuah jalan hidup yang menyenangkan. Sampai suatu hari seorang teman yang telah menjadi PNS, bersikap sombong dan sok superior di hadapan saya dan teman-teman lain yang bekerja di bidang yang berbeda. Setelah kejadian itu, saya berusaha menunjukkan kepada keluarga, saya bisa tetap hidup dengan layak meski bukan PNS.
Tidak semua PNS seperti teman saya yang sombong itu. Masih banyak PNS yang baik, dan PNS adalah pekerjaan yang baik, saya tahu itu. Masalahnya kemudian, di tempat saya lahir ini, PNS, polisi, tentara, dokter, pilot, dan karyawan perbankan (PPTDPKB) seolah-olah menentukan harkat-martabat seseorang. Ini mungkin tidak selalu terjadi di semua tempat, tapi di lingkungan sosial saya, ini telah terjadi. Penilaian sebagai manusia, ditentukan oleh di mana ia bekerja. Miris.