Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Peran Anak dalam Mengatasi Post Power Syndrome Orangtua Terkasih

2 Oktober 2019   13:49 Diperbarui: 3 Oktober 2019   05:30 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay.com

Mata papa saya memandangi ke arah luar jendela, beliau sedang duduk di sebuah kursi kayu kala itu. Di depannya berjejer kue-kue khas idulfitri. Saya tidak berani menebak pikirannya, tapi ia pasti sedang bergejolak. Mengenang masa lalu, barangkali.

Ketika masih aktif bekerja sebagai PNS dulu, setiap kali lebaran, pasti ramai rekan kerjanya datang menyambangi rumah kami. Masuk masa pensiun, itu beda cerita.

Papa memasuki masa purna tugas sekitar tahun 2002. Tahun pertama saat lebaran, masih banyak mantan anak buah dan rekan kerja sesama pensiunan datang bersilaturahmi. 

Tahun kedua masih sama. Namun tahun-tahun berikutnya sama sekali berbeda. Hanya beberapa rekan papa yang datang, yang lain berkomunikasi via telepon saja. Mengingat mereka semakin tua, dan kesehatannya mulai menurun, sehingga sulit melakukan perjalanan. Papa saya juga mengalami hal yang sama.

Sehari-hari, papa mengisi waktunya dengan banyak beribadah, membaca, dan merawat pekarangan rumah. Tidak sekali pun saya melihat rumput pernah tinggi selama papa pensiun. 

Matanya masih menunjukkan perlawanan. Beliau merasa masih mampu melakukan apa pun. Tapi, ia tak bisa menyembunyikan rasa sepi. Ketika papa diam---atau mungkin melamun---tampak ada sedikit kesedihan yang sulit dibendung meski semangatnya masih membara.

Saya berpikir, mungkin ini yang disebut Post Power Syndrome (PPS). Sebuah kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan individu melepaskan apa yang pernah dia dapatkan dari kekuasaannya terdahulu.

Gejala PPS meliputi: marah, kesal, iri, pemalu, pendiam, tak mau mengalah, dan lain-lain. Dalam kasus papa saya, mungkin beliau masuk kategori "pendiam".

Tidak hanya papa, mama saya yang lebih dulu memasuki masa purna tugas (beliau pensiun dini), juga sempat mengalami "gejala pendiam". Untungnya mama termasuk aktif mengikuti kegiatan pengajian, sehingga otaknya masih sering mengolah banyak informasi baru. Singkatnya mama tidak mengalami kebosanan.

Oleh karena itu, sebagai anak, saya harus melakukan sesuatu. Caranya adalah dengan sering mengajak papa dan mama membahas suatu kejadian. Memang kadang-kadang menuju ke suatu perdebatan yang cukup panas. Tapi intinya adalah saya mencoba menunjukkan perhatian kepada mereka, agar papa dan mama tidak merasa sendirian di dunia ini.

Melakukan hal tersebut---menurut saya---bisa membuat kita sebagai anak lebih mengenal orangtua. Berapa banyak di antara orang dewasa yang masih aktif---termasuk saya---lupa dengan keberadaan orangtuanya dengan alasan sibuk.

Di sisi lain, orangtua kita juga akan lebih mengenal sosok anaknya yang telah dewasa.

Karena---mungkin saja---banyak yang terekam dalam ingatan mereka bahwa kita masih seorang bocah. Biarkan mereka mengorek lebih dalam bagaimana kita menjalani hidup yang kadang sering membuat kita bingung di persimpangan jalan.

Saya juga ingin papa dan mama tahu, betapa banyak sekali pikiran saya ketika menunggu giliran di lampu merah.

Percayalah, kita ini sebagai manusia dewasa yang masih aktif bekerja, sering terlalu percaya diri tak perlu nasihat lagi. Padahal orangtua kita punya banyak petuah dari pengalaman mereka di masa lalu.

Buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Sedikit-banyak kelebihan dan kekurangan saya, pasti tercermin dari papa dan mama. Tak ada salahnya mencoba mendengarkan sedikit saja perkataan mereka, siapa tahu ada hikmah tersembunyi di dalamnya.

Memang benar, saat lelah pulang bekerja, malas betul mau bertemu dengan siapa pun. Tapi sekarang ini, saya berusaha untuk tetap mengunjungi papa dan mama.

Teman-teman saya yang orangtuanya sudah tiada sering bilang begini, "Baik-baiklah kau dengan orangtua. Kalau mereka sudah 'berangkat', kepada siapa lagi kau mengadu?"

Saya renungkan kata-kata mereka, dan suatu hari nanti pun mungkin saya akan menjalani masa purna tugas. Entah saya akan berakhir dalam kesunyian, atau cinta kasih anak-anak.

"Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Alquran, surah Al-Isra, ayat 24). ***

Sumber bacaan:

1. Prawira, A. E. "Post Power Syndrome, Ketidakmampuan Individu Terima Hidupnya Kini". 2017. Web. 2 Oktober 2019. liputan6.com
2. "Post Power Syndrome". 2010. Web. 2 Oktober 2019. nasional.kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun