Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hikayat Sang Desainer

5 September 2019   14:24 Diperbarui: 5 September 2019   14:48 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay.com

Di depan komplek rumahku, hidup seorang pria berumur kurang-lebih tiga puluh lima tahun. Ia tinggal di dalam sebuah hunian berbahan dasar kayu kelapa. Atapnya terdiri dari lapisan seng yang murah-murah saja. Meski sederhana, tapi tempat itu terlihat sangat cantik. Apalagi ketika malam tiba. Cahaya lampu dari dalam menyiratkan kedamaian yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Bung Dimas, begitu biasanya ia dipanggil. Pria tersebut jarang keluar rumah, karena pekerjaannya sebagai desainer memang tak mengharuskan ia ke mana-mana.

Aku dengar, Bung Dimas itu banyak sekali duitnya. Tapi aneh, wajahnya tidak menyiratkan kebahagiaan sama sekali.

Setiap hari, para pesohor dari segala penjuru negeri datang ke rumah Bung Dimas. Katanya mereka ingin dibuatkan suatu rancangan. Entah apa. Tapi dari yang kulihat, orang-orang itu membawa banyak uang tunai untuk Sang Desainer.

Tak hanya orang kaya. Bung Dimas juga tak segan membantu orang yang punya sedikit uang. Sebut saja Pak Wendha. Pria itu belum kunjung mendapatkan jodoh. Tapi dengan bantuan Bung Dimas, dalam kurun waktu enam bulan, akhirnya ia menikah. Ajaib.

Ketika kutanyakan kepada Pak Wendha, desainer seperti apa Bung Dimas itu, ia enggan menjawab. Rahasia katanya.

Dalam penyelidikanku tentang masa lalu Bung Dimas, pria bertubuh ceking itu sangat misterius. Asal-usulnya tak jelas, banyak versi tentang kedatangannya ke kota ini.

Ada yang bilang bahwa ia lahir dari batu seperti Sun Go Kong. Kemudian menjadi pembawa keajaiban karena mendapatkan kekuatan dari langit dan bumi.

Gosip lain juga menyebutkan Bung Dimas tak ubahnya Godzilla yang merupakan sistem pertahanan bumi dalam mempertahankan eksistensi dari ulah manusia. Bedanya, ia terbentuk dari kumpulan dendam manusia.

Masyarakat tepian kota punya cerita yang lebih aneh lagi. Mereka menganggap Bung Dimas itu seperti Captain America yang hidup sejak masa lampau hingga kini untuk membantu orang-orang yang tidak berdaya. Ia benar-benar seperti legenda hidup di tempat ini.

Tapi ada satu petunjuk unik, bahwa Bung Dimas dulu pernah bekerja di industri riba yang membuatnya banyak musuh dan hidup tak tenang, ia kecewa dengan segala tipu daya bisnis tersebut, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk berusaha hidup mandiri dengan menjadi seorang desainer.

***

Rasa penasaran yang begitu kuat, membuatku mendatangi Amper Street, daerah tepi kota di mana kisah Bung Dimas begitu memukau.

Warga sekitar menceritakan kepadaku tentang betapa heroiknya Bung Dimas dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat lokal.

Sekitar akhir tahun dua ribu tujuh belas, berdiri sebuah pabrik di Amper Street. Harusnya itu kabar gembira bagi orang-orang yang masih menganggur. Sayang, jauh panggang dari api, sembilan puluh persen karyawan di tempat itu merupakan orang asing dari negeri jauh.

Maka pada suatu hari, entah muncul dari mana. Bung Dimas hanya dengan kertas dan pena mampu mengusir orang-orang asing itu pulang ke negaranya, sehingga membuka kesempatan bagi penduduk lokal untuk bekerja di sana.

Cerita itu seperti dongeng, aku tak habis pikir, bisa-bisa perusahaan asing itu tunduk pada Bung Dimas, sementara negara saja tak mampu berbuat apa-apa.

Belum puas dengan bukti-bukti yang ada. Aku kemudian mendatangi lembaga riba di mana Bung Dimas dulu pernah bekerja.

"Dimas? Jangan kau tanyakan lagi tentang dia! Aku benci!" teriak pemimpin PT. Jebakan Bunga. Wajahnya merah seperti bara api.

"Ke ... kenapa, Pak?" tanyaku agak berdebar.

"Gara-gara dia, sebagian besar debitur mampu menyelesaikan utangnya tepat waktu, bahkan sebelum waktunya! Itu kerugian besar!"

"Bukannya bagus mereka bisa bayar utang, Pak?"

"Bagus matamu! Kami jadi tak bisa memungut denda dan beban bunga berkurang kalau mereka lunas sebelum jatuh tempo. Keuntungan kami tak banyak! Pakai otakmu!"

Aku terkesima.

***

Pada akhirnya, aku hanya menemukan jawaban yang semakin buntu. Petunjuk-petunjuk yang ada serupa mitos.

Satu-satunya cara yang terpikirkan sekarang adalah aku harus menyelinap masuk saat malam hari, atau ketika ia sedang pergi keluar.

Bung Dimas setiap jam dua belas siang, biasanya meninggalkan rumah untuk membeli sebungkus nasi dan beberapa lauk tradisional.

Satu menit lagi, kuyakin Sang Desainer akan segera meninggalkan rumah. Aku bersembunyi di balik pohon-pohon akasia persis di depan rumahnya.

Benar saja, Bung Dimas beranjak pergi. Tak buang waktu, aku segera membobol jendela bagian belakang. Sampai di dalam, aku menemukan laptop bermerek mahal, kertas gambar, dan sejumlah alat-alat yang dimiliki seorang insinyur. Mungkin inilah jawabannya. Selama ini aku selalu penasaran dari mana ia dapat uang begitu banyak. Dia pasti menggambar rancangan bangunan, bendungan, dan sejenisnya. Begitulah pikirku berdasarkan fungsi-fungsi peralatan yang ada.

Tapi itu tak menjawab kisah heroiknya menyelamatkan warga Amper Street dan debitur dari PT. Jebakan Bunga. Lalu kasus Pak Wendha? Apa gunanya software Photoshop atau AutoCAD yang terinstal dalam laptopnya itu?

"Jadi tepatnya jawaban apa yang kau cari, Nak?"

Aku terkejut setengah mati. Bung Dimas sudah berdiri di belakangku. Sepertinya ia telah mengamati dari tadi.

Lidahku kelu, tubuhku lemas. Tamat riwayatku!

Ia kemudian mempersilakanku duduk. Tak ada tanda-tanda kemarahan di wajah Bung Dimas, yang tampak hanyalah raut sedih seperti biasa.

Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya, sementara ia sedang menunggu.

"Kau seorang desainer, Bung. Kau mendesain apa sebenarnya? Kisah-kisahmu di luar sana jelas-jelas bukan urusan seorang insinyur, desainer, atau apa pun itu sebutannya."

"Berjanjilah, setelah kujawab, kau tak akan memberitahu orang lain."

Aku mengangguk setuju.

"Aku merancang kebahagiaan untuk orang lain. Ya ... itu bahasa zaman dulu. Kau bisa menyebutkan aku mendesain jalan kebahagiaan bagi mereka yang membutuhkan."

Jawaban itu tak masuk akal. Dia kira aku bisa diakali. "Kalau kau memang jago membuat orang lain bahagia, kenapa wajahmu selalu sedih?"

Bung Dimas tampak terkejut dengan pertanyaan itu, seperti belum ada yang menanyakan sebelumnya. Dahinya berkerut, tanda sedang berpikir keras.

"Ah ... itu pertanyaan bagus. Aku pun heran mengapa aku jarang berbahagia. Coba kau tebak?"

Aneh orang ini, dia berbalik bertanya, aku yakin dia tak punya jawaban. "Kupikir kau terlalu sering membahagiakan orang lain, sementara dirimu sendiri terlantar."

Bung Dimas melempar senyum pertamanya kepadaku. "Terima kasih, aku telah menemukan jawaban kegundahan selama ini." Lalu, ia perlahan menghilang dari pandangan, mengecil, dan berubah jadi batu nisan bertuliskan "Keadilan Pernah Ada di Bumi".

Di langit sana---dari jendela---kulihat pesawat mondar-mandir yang kabarnya mengangkut rektor-rektor asing, dan bunyi klakson kapal di pelabuhan nun jauh di sana menandakan turunnya ribuan buruh entah dari negara mana. Bisa apa kami tanpa Bung Dimas?

****

Dicky Armando-Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun