Lidahku kelu, tubuhku lemas. Tamat riwayatku!
Ia kemudian mempersilakanku duduk. Tak ada tanda-tanda kemarahan di wajah Bung Dimas, yang tampak hanyalah raut sedih seperti biasa.
Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya, sementara ia sedang menunggu.
"Kau seorang desainer, Bung. Kau mendesain apa sebenarnya? Kisah-kisahmu di luar sana jelas-jelas bukan urusan seorang insinyur, desainer, atau apa pun itu sebutannya."
"Berjanjilah, setelah kujawab, kau tak akan memberitahu orang lain."
Aku mengangguk setuju.
"Aku merancang kebahagiaan untuk orang lain. Ya ... itu bahasa zaman dulu. Kau bisa menyebutkan aku mendesain jalan kebahagiaan bagi mereka yang membutuhkan."
Jawaban itu tak masuk akal. Dia kira aku bisa diakali. "Kalau kau memang jago membuat orang lain bahagia, kenapa wajahmu selalu sedih?"
Bung Dimas tampak terkejut dengan pertanyaan itu, seperti belum ada yang menanyakan sebelumnya. Dahinya berkerut, tanda sedang berpikir keras.
"Ah ... itu pertanyaan bagus. Aku pun heran mengapa aku jarang berbahagia. Coba kau tebak?"
Aneh orang ini, dia berbalik bertanya, aku yakin dia tak punya jawaban. "Kupikir kau terlalu sering membahagiakan orang lain, sementara dirimu sendiri terlantar."