"Bagus matamu! Kami jadi tak bisa memungut denda dan beban bunga berkurang kalau mereka lunas sebelum jatuh tempo. Keuntungan kami tak banyak! Pakai otakmu!"
Aku terkesima.
***
Pada akhirnya, aku hanya menemukan jawaban yang semakin buntu. Petunjuk-petunjuk yang ada serupa mitos.
Satu-satunya cara yang terpikirkan sekarang adalah aku harus menyelinap masuk saat malam hari, atau ketika ia sedang pergi keluar.
Bung Dimas setiap jam dua belas siang, biasanya meninggalkan rumah untuk membeli sebungkus nasi dan beberapa lauk tradisional.
Satu menit lagi, kuyakin Sang Desainer akan segera meninggalkan rumah. Aku bersembunyi di balik pohon-pohon akasia persis di depan rumahnya.
Benar saja, Bung Dimas beranjak pergi. Tak buang waktu, aku segera membobol jendela bagian belakang. Sampai di dalam, aku menemukan laptop bermerek mahal, kertas gambar, dan sejumlah alat-alat yang dimiliki seorang insinyur. Mungkin inilah jawabannya. Selama ini aku selalu penasaran dari mana ia dapat uang begitu banyak. Dia pasti menggambar rancangan bangunan, bendungan, dan sejenisnya. Begitulah pikirku berdasarkan fungsi-fungsi peralatan yang ada.
Tapi itu tak menjawab kisah heroiknya menyelamatkan warga Amper Street dan debitur dari PT. Jebakan Bunga. Lalu kasus Pak Wendha? Apa gunanya software Photoshop atau AutoCAD yang terinstal dalam laptopnya itu?
"Jadi tepatnya jawaban apa yang kau cari, Nak?"
Aku terkejut setengah mati. Bung Dimas sudah berdiri di belakangku. Sepertinya ia telah mengamati dari tadi.