***
Rasa penasaran yang begitu kuat, membuatku mendatangi Amper Street, daerah tepi kota di mana kisah Bung Dimas begitu memukau.
Warga sekitar menceritakan kepadaku tentang betapa heroiknya Bung Dimas dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat lokal.
Sekitar akhir tahun dua ribu tujuh belas, berdiri sebuah pabrik di Amper Street. Harusnya itu kabar gembira bagi orang-orang yang masih menganggur. Sayang, jauh panggang dari api, sembilan puluh persen karyawan di tempat itu merupakan orang asing dari negeri jauh.
Maka pada suatu hari, entah muncul dari mana. Bung Dimas hanya dengan kertas dan pena mampu mengusir orang-orang asing itu pulang ke negaranya, sehingga membuka kesempatan bagi penduduk lokal untuk bekerja di sana.
Cerita itu seperti dongeng, aku tak habis pikir, bisa-bisa perusahaan asing itu tunduk pada Bung Dimas, sementara negara saja tak mampu berbuat apa-apa.
Belum puas dengan bukti-bukti yang ada. Aku kemudian mendatangi lembaga riba di mana Bung Dimas dulu pernah bekerja.
"Dimas? Jangan kau tanyakan lagi tentang dia! Aku benci!" teriak pemimpin PT. Jebakan Bunga. Wajahnya merah seperti bara api.
"Ke ... kenapa, Pak?" tanyaku agak berdebar.
"Gara-gara dia, sebagian besar debitur mampu menyelesaikan utangnya tepat waktu, bahkan sebelum waktunya! Itu kerugian besar!"
"Bukannya bagus mereka bisa bayar utang, Pak?"