Kebebasan memeluk agama dan menjalankan rutinitas keagamaan merupakan sebuah hak dari tiap-tiap individu yang memeluk agama apapun baik itu Islam, Nasrani, Katholik, Hindhu, Budha, Konghucu, Sikh , Yahudi dan agama-agama yang dapat membuat ketenangan setiap pemeluk-Nya. Melakukan rutinitas keagamaan bagi setiap pemeluk agama juga salah satu kewajiban yang harus dijalankan. Rutinitas keagaaman adalah bentuk rasa syukur atas keagungan Tuhan Yang Mahas Esa kepada setiap individu atas rezeki yang diberikan. Melarang seseorang untuk melakukan rutinitas keagamaan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan sangat tidak dibenarkan.
Negara Prancis yang memiliki warga muslim berjumlah 6 juta orang atau sekitar 10 % persen dari populasi negara yang terkenal dengan negara kiblat fashion dan negeri romantis tersebut khususnya yang berkerja di bandara Charles de Gaulle belakangan ini merasa jengah dan didiskrimasikan. Pasalnya setiap warga muslim yang bekerja di bandara Charles de Gaulle saat melakukan ibadah sholat di Musholla akan dicurigai sebagai sebagai teroris. Penyebab adanya tindakan diskrimasi ini terhadap kaum muslim yang bekerja di bandara Charles de Gaulle berawal dari terbitnya sebuah buku berjudul Les Mosquees De Roissy atau jika penulis artikan kedalam bahasa Indonesia artinya Masjid dari Roissy.
Buku yang berjudul Les Mosquees De Roissy merupakan buku karangan Phillip de Villiers. Phillip de Villiers sendiri merupakan tokoh sayap kiri partai Movement for France juga mencalonkan diri sebagai presiden Perancis dalam pemilu mendatang. Buku yang dikarang Phillip de Villiers berisi bahwa semua pegawai di bandara Charles de Gaulle sudah disusupi oleh orang-orang berhaluan islan garis keras ( dibaca: teroris). Sungguh sebuah analisis yang dangkal tanpa penelitian secara ilmiah menuduh seseorang tanpa bukti. Phillip de Villiers sendiri di Prancis sudah dikenal masyarakat disana sebagai sosok yang anti kaum muslim dan sering menghembuskan kepada masyarakat Prancis agar berhati-hati terhadap penyebaran agama Islam di Prancis.
Kampanye yang dilakukan oleh Phillip de Villiers jika dilihat dampaknya selain merugikan kaum muslim di Prancis juga secara tidak langsung akan mengurangi jumlah suara pemilu yang akan memilihnya. Sebab dari 6 juta warga muslim di Prancis sebanyak 1,8 juta merupakan pemilih potensial. Apabila saat pemilu Phillip de Villiers kehilangan suara sebanyak 1,8 juta sudah dipastikan ia akan kalah dalam pemilu di Prancis. Seharusnya sebagai kandidat calon presiden Prancis Phillip de Villiers mampu mengayomi setiap warga masyarakat Prancis yang multicultural. Contohlah saja Amerika Serikat yang dipimpin oleh Brack Obama. Obama sendiri dalam kampanye pemilunya mampu mengajak seluruh warga Amerika untuk mencintai keberagaman dan cara Obama ini mengantarkannya di kursi presiden negeri Paman Sam untuk periode kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H